Konnichiwa Nippon 2023! (Part 1)
After all these years, I noticed that I deliberately traveling during the summer. Kayaknya dimulai pas masih kuliah di London dulu. Tapi baru diniatin untuk selalu berpergian pas deket-deket hari ulang tahun atau ngasih hadiah diri sendiri dengan jalan-jalan di bulan Agustus. Kalau tahun lalu berhasil menunaikan “ibadah haji” ke Korea, maka tahun ini aku menunaikan “ibadah umroh” ke Jepang. And to sum up the trip to Japan, IT WAS FREAKING AMAZING AND THE BEST TRIP I’VE EXPERIENCED!!
Perjalanan ke Jepang ini sebetulnya sudah lumayan lama aku rencanakan sih. Meskipun sebetulnya rencananya ngga matang-matang juga, pasalnya Jepang tuh terlalu banyak tempat yang ingin aku kunjungi. Jadi aku lebih pusing dan bingung menentukan mau kemana? Berbeda dengan Korea yang sudah jelas apa saja yang jadi prioritas untuk dikunjungi. Untuk itinerary pun, sebetulnya baru 85% hingga aku terbang ke Jepang. Bagusnya adalah aku mencatat lebih banyak tempat dan pilihan, jadi ketika aku bingung aku tinggal pergi ke tempat yang sudah aku catat di notes itinerary itu aja. Untuk itinerary Jepang-ku sendiri ada di sini.
Perjalanan ke Jepang ini aku bagi menjadi beberapa konsep. Konsep pertama adalah konsep turis Tokyo basic, konsep warlok, konsep wibu (Ghibli dan Slam Dunk) dan terakhir konsep main di theme park. Tujuan untuk perjalanan pertamaku ke Jepang ini juga sebenarnya terbilang cukup basic karena aku berkunjung ke 3 kota yang umum dikunjungi warga kalau ke Jepang: Tokyo, Kyoto, Osaka. Pada awalnya aku berencana untuk tinggal di Tokyo sebentar saja. Tapi setelah kupikir-pikir, ngga mungkin di Tokyo cuma sebentar. Belum lagi setelah berkonsultasi dengan beberapa teman yang kebetulan juga ke Jepang tahun ini. Akhirnya kuputuskan untuk mengubah itinerary di hari-hari terakhir dan menambah durasi stay di Tokyo yang hasilnya adalah mengubah banyak reservasi hotel.
Nah, setelah bicara soal itinerary dan rencana sekarang saatnya masuk ke konsep-konsep utama dalam liburanku ke Jepang kali ini. Jangan lupa baca terus hingga tuntas, siapa tahu ada tips dan trik traveling pertama kali ke Jepang yang bisa dicontek.
Konsep Turis Basic
Sesuai dengan namanya, di sini aku benar-benar jadi turis. Walaupun ngga sepenuhnya juga sih soalnya ada beberapa touristy places yang aku skip karena udah kelelahan atau ya udah ngga searah dengan jalurku jalan aja. Untuk konsep turis basic ini, karena aku pergi ke 3 kota akan aku bagi juga ke dalam 3 kota tersebut.
Tokyo Turis Basic
Touristy places yang aku kunjungi di Tokyo yang paling prominent adalah: Tokyo Sky Tree, Team Labs, Shibuya Crossing, Hachiko Statue, dan Gundam Statue. Di itinerary sendiri ada beberapa tujuan touristy basic lain seperti Kabukicho maupun Shinjuku tapi aku ngga ke sana karena sudah terlanjur mager beraktifitas di atas jam 6 malam.
Kebetulan aku menginap di salah satu stasiun hub di Tokyo, di Ueno. Pas pesan hostel di daerah sini, aku ngga nyangka kalau tempat ini juga salah satu tempat yang bustling dan hits gitu. Ditambah lagi karena dia adalah stasiun hub, jadinya ada banyak pilihan kereta sehingga mau kemanapun selalu ada jalurnya. Yah, walaupun memang di Jepang jaringan keretanya sungguh sangat lengkap sehingga mau kemanapun akan selalu ada kereta sih. The point is menetap di Ueno merupakan salah satu pilihan yang tepat karena praktis soal jalur transportasi.
Kembali ke konsep turis basic, aku berkunjung ke touristy places pertama yaitu Tokyo Sky Tree pada hari pertama aku di Jepang. Setelah puas berkunjung ke Ghibli Museum dan menyelesaikan konsep Ghibli, aku pergi ke Tokyo Sky Tree. Rencananya ingin menghabiskan sunset di sana ceunah. Memang betul sih aku datangnya di sore hari. Hanya saja Tokyo Sky Tree lagi padet banget, terlalu banyak orang dan ternyata dia bukan tempat yang aku bayangkan pas beli tiketnya. Jadinya aku menghabiskan waktu sebentar saja. Justru malah jadi amazed sama si Tokyo Sky Tree setelah memutuskan untuk turun dari tempatnya dan ngeliat gedungnya itu. Tokyo Sky Tree ini merupakan gedung tinggi dengan observation deck, total tingginya sekitar 400 meter di atas permukaan laut. Ada tiga level deck: 350, 355, dan 400 m. Yang mana di salah satu deck itu terdapat salah satu lantai kaca untuk ngeliat ke bawah. Dan jujur saat ngetik ini tanganku sudah berkeringat sendiri, apalagi kalau ingat aku menginjak lantai kaca yang tinggi banget itu. Kayaknya aku memang punya phobia ketinggian deh.
Adapun drama cukup unik pas aku berkunjung ke Tokyo Sky Tree ini adalah salah ambil kereta pulangnya. Entah kenapa aku tuh ngga mengambil jalur yang sama dengan yang kuambil pas berangkat. Malah ambil jalur lain yang justru membuatku kesasar. Untungnya aku menyadari kesalahanku dan segera kembali ke titik awal yaitu Tokyo Sky Tree dan berhasil mengambil kereta pulang yang benar. Ini baru kebodohan awal, seperti biasa di dalam cerita perjalanan Agista akan selalu ada cerita bodoh dan sial.
Tujuan touristy places basic kedua adalah TeamLABS. Kayaknya semua orang yang ke Tokyo akan selalu merekomendasikan tempat ini, temanku juga begitu. TeamLABS ini letaknya lumayan jauh, ada di Odaiba. Dan Odaiba itu sudah seperti pulau sendiri tapi masih di Tokyo. Pokoknya jaraknya jauh banget. Istimewanya TeamLABS, kalau kata orang-orang dia adalah tempat dimana kita bisa merasakan instalasi seni dengan semua indera di dalam tubuh kita. Sebelum memutuskan untuk betulan pergi ke TeamLABS, aku awalnya rada sangsi karena sudah pernah pergi ke Museum Art Science di Singapore. Dan menurutku konsepnya ada beberapa yang sama.
Kalau sekarang ditanya apakah aku menyesal pergi ke TeamLABS? Oh, tentu saja tidak. Karena memang meskipun serupa dengan yang di Singapore, TeamLABS ini bener-bener lebih keren. Lalu dia ngga bohong juga dengan klaimnya bahwa kita bisa menikmati seni dengan 5 panca indera. Isinya ada dua segmen yaitu Water Section dan Garden Section. Instalasi seni Water Section ini lebih interaktif dan lebih lama, jadi aku sarankan kalau ke TeamLABS betul-betul nikmatin dan puas-puasin di Water Section aja karena di Garden Section ini terlalu singkat masa menikmatinya.
Di Water Section ini kita akan main basah-basahan jadi pastikan kalau ke TeamLabs pakai celana pendek atau yang bisa dilipat sampai ke lutut. Airnya juga rada hangat suam-suam kuku gitu, bau disinfektan banget juga. Kalau aku sih suka ya bau disinfektan. Terus dinikmatinnya ada beberapa instalasi, ada yang di-mix dengan hologram gitu jadi kita main air sambil liat ikan-ikan virtual. Ada juga yang berbentuk infinity lights gitu. Tapi so far semua permainan airnya ngga bikin yang basah banget kok ke seluruh badan, cuma basahin kaki aja.
Di TeamLABS instalasi yang paling aku suka adalah instalasi orchid gardennya meskipun cuma sebentar banget di situ. Kayaknya cuma satu menit deh. Itu instalasinya dipenuhi sama anggrek asli, maka dari itu ngga boleh dipegang. Dan anggreknya naik turun gitu. Cakep banget kalau dijadiin foto atau video pokoknya. Selebihnya instalasi yang lain memang rada bikin psychedelic gitu alias bikin mabuk. Salah satu contohnya di ruang flower universe. Di situ kita bisa menikmati hologram bunga berjatuhan sambil tiduran. Efeknya kayak nge-fly gitu saking immerse-nya sama instalasi seninya. Harga tiket TeamLABS kurang lebih 400 ribuan rupiah dan bisa dipesan di KLOOK jauh-jauh hari sebelum hari H berkunjung.
Karena kebetulan TeamLABS ini di Odaiba, dia dekat dengan si patung Gundam Unicorn di depan mal Diver City Tokyo. Maka dari itu di hari yang sama aku memutuskan untuk nuris juga untuk ngefoto patung Gundam ini. Sebuah tips sederhana, patung Gundam ini punya jam-jam pertunjukan tertentu khususnya pada malam hari. Jadi misal memang mau melihat betapa majestic-nya si patung Gundam ini lebih baik datengnya pas jam pertunjukan. Waktu aku ke Odaiba juga kebetulan jadi warlok sebentar karena ada teman yang memang tinggal di Jepang, jadi memang stay hingga jam pertunjukan patung Gundam dimulai. Pertunjukannya sederhana sih, ngga se-heboh yang di Yokohama. Si Patung Gundam Unicorn ini nanti akan bersinar dengan lampu-lampu dan beberapa flap akan terbuka gitu. Ditambah dengan background opening Gundam-nya juga. Kalau testimoni temanku yang warga lokal, "Aku ngeliat ini tiap malam juga tetep terharu Gista soalnya bagus banget." Dan memang iya, seru aja lihat Gundamnya langsung in action sembari ditemani openingnya. Jepang memang living in the future.
Seperti yang sudah aku ceritakan juga di atas, selain memang berkunjung untuk destinasi turis basic pas di Odaiba aku juga merasakan jadi warlok. Moda transportasi yang digunakan oleh warga Odaiba adalah Yurikamome yaitu LRT yang dioperasikan oleh perusahaan swasta. Nah Yurikamome ini sekali jalan memang rada mahal yaitu Rp 32.500 sementara kalau sekali jalan pakai kereta JR bisa seharga Rp 19.000 - Rp 22.000 saja. Aku berkunjung ke apartemen international student temanku yang pemandangannya cakep banget, langsung menghadap laut. Kalau sore-sore menuju magrib duduk santai sambil ngobrol dan piknik di situ rasanya nyaman banget. Tokyo itu memang fast-paced tapi berbeda dari Jakarta. Kalau di Jakarta rasanya hidup sibuk dan cepat terus tanpa ada jeda, di Tokyo kita bisa mengambil jeda sebentar untuk menenangkan diri dari sibuknya ibu kota. Sebetulnya kampung pinggiran Tokyo, seperti di Mitaka itu lebih kalem dan menenangkan juga. Berbeda dengan pinggiran Jakarta yang masih sibuk dan riuh ramai. Makanya hidup di Tokyo itu bisa dibilang balance, karena kalau capek bisa tinggal selonjoran dekat laut aja sambil minum soda dan menikmati angin magrib. Lalu besok bisa beraktifitas lagi seperti biasa.
Dari situlah aku berpikir, "Gimana kalau misal nanti aku memilih untuk tinggal di Jepang aja ya?" Meskipun pada kenyataannya masih tetap wallahualam.
Lanjut setelah menghabiskan waktu sebagai warga lokal dan lewat lagi ke Gundam Unicorn di depan Diver City Tokyo, keesokan harinya aku berkelana ke Kamakura duluan sebelum kembali menjadi turis basic Tokyo. Di hari ketiga dan terakhir di Tokyo, aku pergi berkunjung ke Latte Art Mania Cafe. Sebuah cafe yang sejak aku berencana ke Jepang, selalu muncul di explore instagramku. Yang niche dari kafe ini adalah latte artnya dan juga black lattenya, konon katanya black lattenya itu antara Hojicha ataupun Espresso. Bonusnya baristanya skillful dan cakep-cakep. Kebetulan ada satu barista yang sudah bikin aku naksir sebelum datang ke kafenya. Tapi pas udah datang ke kafenya, makin naksir berkali-kali lipat dan aku jadi bertekad mau mengajak dia menikah kalau aku pergi ke Tokyo lagi.
Omong-omong soal review kafenya, kafenya tuh kecil. Betulan kecil dan cuma bisa nerima ngga sampe belasan tamu. Pas aku datang, ada rombongan bule yang sudah antre di depan kafenya. Mau aku selak kan ga enak ya, karena di Jepang budaya antre itu mengakar sekali. Salahku waktu itu adalah ngga ngomong dulu ke kasir kafe soal tempat buat satu orang. Karena pas datang ke kafenya aku langsung terkejut soalnya mas-mas barista yang ada di video yang aku taksir memang lagi ada. Dan subhanallah di situ aku tuh sampe gugup soalnya ngeliat muka dia langsung, dia cakep banget! Demi Allah cakep banget, aku langsung lupa kalau aku masih belom move on dari crush-ku yang sekarang.
Aku baru masuk setelah para rombongan turis ini masuk dan aku diselak oleh sepasang orang Korea. Rada bete karena diselak tapi ngga jadi bete soalnya mas-mas baristanya ngajakin aku ngobrol meski aku gugup dan hampir blank soal bahasa Jepang. Si mas-mas barista ini notice kaos Slam Dunk aku, jadi pas aku udah bisa masuk karena ada satu orang mbak-mbak ngasih kursinya ke aku, aku duduk diam. Terus mas-masnya memulai pembicaraan "T-shirtnya bagus, Slam Dunk." gitu katanya dalam bahasa Jepang. Aku awalnya hah heh hoh, terus beberapa detik kemudian ngeh. Karena ngga ngerti harus jawab apa, aku cuma bisa malu-malu membalas "Iyaaa~" dalam bahasa Jepang.
Kejadian kedua yang lucu dan malu-maluin menurutku adalah pas aku dipanggil sebelum masnya perform latte art. Aku tuh rada bingung karena ngga tahu kalau aku akan dipanggil dan dikasih kesempatan menyaksikan masnya bikin latte art. Karena ya biasanya kalau ngafe ya gitu aja kan? Pas udah ngeh, akhirnya aku mendekat ke meja counter lalu nanya ke masnya "Boleh aku videoin kan?" terus masnya bilang "Iya, silakan." Masnya konsentrasi bikin latte art, aku konsentrasi ngevideoin. Pas udah jadi, aku bilang "Kirei~ (cantik)" dan masnya menjawab "Makasih~"
YA ALLAH MAS AYOK NIKAH SAMA AKU CEPETAN!
Kejadian terakhir, kalau yang ini ngga malu-maluin sih tapi aku rada bangga sedikit. Pas udah abis semua tuh makanan dan minuman aku, kan sudah waktunya bayar. Ternyata mbak-mbak kasir yang sebelumnya menerima pesananku lagi sibuk. Alhasil mas-mas itu lagi yang ngasirin. Di dalam hati, "Ya Allah bisa ga berhenti deg-degan sebentar?" Karena aku tahu mas itu ngga terlalu bisa bahasa Inggris, akhirnya aku terpaksa mengeluarkan bahasa Jepang survival aku. Terakhir aku bilang ke dia "Suica onegaisimasu." dan "Arigatou gozamasu." Tapi masnya tuh balasnya dengan Arigatou yang bener-bener bersyukur dan berterima kasih karena aku mau mencoba menggunakan bahasa Jepang. That was really a memorable memory. Sumpah setelah itu, aku ingin balik ke Tokyo terus dan ketemu si mas terus saking sukanya. Bahkan sampai tulisan ini ditulis (dua minggu pasca balik dari Jepang) aku masih kepikiran sama masnya. Dan kangen jujur. Kalau tahu waktu itu ketemu mas itu beneran, mungkin aku akan cuci muka dulu dan touch up biar rada cakepan. Bentukan mukaku waktu itu udah kepanasan, item, dekil, jelek.
Bismillah 2024 kembali ke Jepang menikah dengan mas Sakaguchi Jun.
Setelah nuris dengan jalan-jalan di Minato dari Stasiun Omotesando ke Latte Art Mania, aku memutuskan untuk mengunjungi penyeberangan Shibuya. Ngga penting banget yah? Tapi ya kayaknya perempatan yang konon katanya tersibuk se-dunia ini tuh jadi salah satu tourist attraction karena saking banyaknya orang yang nyeberang di sana. Dan iya, ngga salah perempatan Shibuya ini betul-betul serame itu. Mungkin karena sebanyak itu orang yang mengunjungi daerah Shibuya. Nah, untuk melihat si perempatan Shibuya ini posisi paling bagus sebetulnya adalah Starbucks dekat Shibuya 101. Hanya saja, berdasarkan hasil risetku di internet ada lagi yang bilang kalau ngeliatnya cukup dari Shibuya Hikarie. Dan memang betul pemirsa, aku sudah membuktikan sendiri kalau mending liat perempatan dari Starbucks Shibuya aja daripada dari Shibuya Hikarie. Ngga dapet feel penyeberangannya.
Selain penyeberangan Shibuya, di spot yang sama juga ada landmark terkenal satu lagi yaitu Hachiko statue. Yang mana pas aku datang ke si Hachiko ternyata ngga yang spesial gimana gitu. Meskipun ya memang kalau inget ceritanya, pantas aja kan si anjing Hachiko ini dibikinin monumen sendiri. Ditambah lagi saat itu si patung Hachiko ruame banget. Jadinya aku memilih untuk ngefotoin Hachiko-nya bukan berfoto bersama si Hachiko.
Kyoto Turis Basic
Lanjut dengan perjalanan ke Kyoto pada hari ke-empat dan ke-lima. Yang sebetulnya ternyata Kyoto itu akan habis dikelilingi hanya dalam waktu satu hari. Jadi, next time pembaca yang budiman kalau memang niat ke touristy places pas mau ke Jepang lebih baik spare satu hari aja ke Kyoto karena memang habis dalam waktu satu hari. Ini semua karena landmark di Kyoto itu ternyata berdekatan satu sama lain. Kecuali kalian memang berniat untuk explore places di Kyoto yang aku juga gak se-tahu itu sebelumnya.
Pada umumnya tempat yang sering dikunjungi di Kyoto antara lain: Gion, Sanneizaka, Ninenzaka, Kiyomizu Dera, Arashiyama Bamboo Forest, Fushimi Inari Taisha, dan orang-orang juga suka melipir ke Nara. Basicnya, orang ke Kyoto untuk berkunjung ke beberapa shrine alias kuil yang mana di Tokyo juga ada seperti Meiji-jingu di Asakusa. Nah kalau aku sendiri sebetulnya nuris basic tapi rada melenceng juga. Seperti Arashiyama Bamboo Forest contohnya, aku malah ambil Take no Michi (Bamboo Path) yang letaknya bukan di Arashiyama. Cuma waktu itu aku sendirian dan tempatnya super sepi jadi aku ngga berani lama-lama daripada kesasar dan nyawaku terancam.
Di hari pertama aku di Kyoto, begitu turun dari Shinkansen aku langsung meletakkan koper di stasiun. Penting banget buat turis-turis yang suka pindah kota di Jepang, daripada geret-geret koper ke hotel bisa menggunakan layanan luggage delivery service atau cara yang lebih merakyat sepertiku yaitu menyimpan koper di loker stasiun sebelum nantinya balik untuk check in ke hotel. Cara ini rupanya cukup instan dan sangat membantu. Seperti biasa, memang apapun yang terjadi di Jepang itu sudah dipikirkan baik-baik oleh masyarakatnya sehingga kita mengalami sangat sedikit hassle (rintangan) selama perjalanan. Loker di stasiun ini untuk satu koper besar dibanderol dengan harga JPY 700 atau sekitar Rp 70.000-an. Dan loker ini letaknya benar-benar ada dimana-mana, jadi sangat memudahkan perjalanan manusia yang suka bawa-bawa banyak barang. Bayarnya pun bisa pakai uang koin maupun bayar pakai IC Card (Suica, ICOCA, Pasmo).
Balik lagi, di hari pertama setelah meletakkan koper di loker, aku langsung pergi ke Kyoto Manga International Museum. Namun karena postingan part 1 ini adalah konsep turis basic jadi aku akan menceritakan destinasi selanjutnya yaitu Nishiki Market. Nishiki Market ini juga merupakan salah satu tujuan turis basic karena saking banyaknya pilihan makanan kaki lima. Hanya saja yang perlu dicatat adalah kamu harus bawa uang cash karena kebanyakan pedagang di pasar ngga punya IC Card reader. Jadi sebelum sampai ke Nishiki, aku memang mengambil uang dulu di 7-Eleven terdekat.
Saking terlalu banyaknya opsi apa aja yang mau di-jajanin, jujur pas datang ke Nishiki Market aku kena choice overload. Justru karena choice overload itu akhirnya aku jajan ke tempat yang belum aku lewati. Padahal sebetulnya bisa-bisa aja balik lagi ke penjual yang udah dilewatin lalu duduk dan diam sebentar. Apalagi kalau sempet browsing tempat makan enak, pasti akan ketemu. Hanya saja Kyoto di hari itu panas banget dan lagi rame banget. Kepikiran untuk melewati lautan manusia lagi rasanya udah lemes. Akhirnya aku menjatuhkan pilihan untuk beli Gyoza michelin star dan makan yakitori seafood. Meskipun sejujurnya aku curiga itu Gyozanya bukan Gyoza ayam, berbeda dengan Gyoza yang sudah aku lewati yang jelas-jelas ditulis Gyoza ayam.
Makan Gyoza aja ngga cukup, akhirnya aku beli yakitori seafood yang mana seafoodnya beneran gede-gede banget. Aku beli scallop, gurita, dan unagi. Jujur rasanya sebetulnya ngga se-tinggi ekspektasi aku. Dan baru kali ini aku menyadari bahwa makanan Jepang di negara asalnya tuh lebih bland kalau dibandingkan dengan makanan Jepang yang sudah pernah aku makan di Inggris maupun di Indonesia. Oh iya, pas di Tokyo aku juga menyempatkan diri makan ramen halal Jepang. Kalau menurutku Seirock-ya masih ter-dabest di dunia peramenan ini. Kalau di Jepang dan betulan mau makan ramen enak harus makan yang non-halal dulu kali ya? Intinya yakitori yang aku makan ini tuh meskipun warna dan gemuknya si daging menggoda selera, ternyata rasanya ngga terlalu kuat. Karena warnanya cokelat, aku berharap rasanya akan manis gurih gitu seperti yakitori yang pernah aku makan di Torico. Mungkin memang penjualnya cuma kasih shoyu doang ke dagingnya? Tapi di balik rasa bland itu, sebetulnya ada baiknya juga. Rasa seafoodnya masih betulan segar. Daging guritanya lembut banget seperti meleleh di mulut, begitu juga daging scallopnya. Sayangnya unaginya menurutku masih terlalu basah, aku berharap ada burnt skin gitu untuk menambah tekstur dagingnya. Cuma ya udah sih, makan aja.
Setelah dari Nishiki Market, aku makan lagi. Konsep di Kyoto hari itu adalah wisata kuliner. Dimulai dari duduk-duduk di Starbucks Kyoto minum minuman summer special Gaburi Suica yang seger banget, makan tiramisu Starbucks, jajan di Nishiki Market, lalu aku jajan lagi Donat di Koe Donuts yang sudah masuk ke bucket list-ku. Dan sebetulnya aku ngga betulan nyari Koe Donuts, kebetulan aja nemu di dekat Nishiki Market sebelum aku lanjut ke Horenji.
Jepang itu salah satu negara dengan terlalu banyak penjual desserts, mungkin karena makanannya yang bland jadi orang-orang nyari guilty pleasure dengan cara makan dessert yang menggugah selera. Koe Donuts ini cukup populer soalnya variasi donatnya banyak. Donatnya lembut, dibilang manis juga ngga terlalu manis. Bahkan jauh lebih manis J.Co yang cenderung ke eneg kalau dimakan kebanyakan. Donatnya lembut seperti Krispy Kreme, toppingnya macam-macam. Kemarin aku beli donat stroberi dan donat butterscotch huhuhu suka banget! Vibes kafenya juga enak banget buat ngadem karena Kyoto lagi panas-panasnya. Jadi aku memang sengaja rada berlama-lama di Koe Donuts buat ngadem dan mengistirahatkan kaki.
Setelah sungkan karena rada lama ngadem, aku melanjutkan perjalanan ke Horenji. Horenji ini sebetulnya cuma jalan biasa. Cuma jalan ini jadi salah satu ciri khas Kyoto karena masih dipertahankan vibes Jepang kunonya. Konon Kyoto ini dijuluki sebagai thousand year capital sejarahnya karena memang Kyoto jadi ibukota Jepang selama 1000 tahun sebelum akhirnya dipindah ke Tokyo. Tokyo aja jadi Ibukota Jepangnya masih belum sampai 1000 tahun hingga saat ini. Konon kenapa ibukota dipindah ke Tokyo adalah karena pas zaman restorasi Meiji, pemerintah Jepang memang mau mengakselerasi modernisasi Jepang. Sementara Kyoto sengaja dibiarkan tetap "tradisional". Itulah kenapa sebetulnya tata letak Kyoto bahkan rumah penduduknya masih lebih banyak dipertahankan dari era Jepang lama sebelum era restorasi Meiji. Kalau dilihat dari Google Maps, tata kota Kyoto betul-betul aesthetically pleasing karena rapi banget kayak Barcelona.
Nah Horenji ini masih satu area dengan Gion-machi dan kalau kita jalan terus bisa tembus sampai ke Sanneizaka dan Ninenzaka. Kedua tempat tersebut juga jalanan berisi rumah-rumah kuno yang tembusnya sampai ke Kiyomizu Dera, salah satu kuil yang jadi jujugan para turis di Kyoto. Worry not di Kyoto memang banyak kuil-kuil yang bisa dikunjungi secara spontan. Karena memang kota ini dengan sengaja memelihara budaya Jepang kuno banget.
Kyoto itu rasanya lebih kalem dan peaceful daripada Tokyo. Tokyo itu somehow lebih peaceful dari Jakarta tapi masih tetap berisik dan terlalu banyak orang. Kyoto ini lebih sepi, jadinya berasa lebih slow living. Ditambah lagi seperti yang sudah aku jelaskan, masih ada budaya lama yang dipertahankan jadi berasa lebih tradisional, berasa balik ke masa lalu. Kyoto kayak Jogjakarta tapi versi lebih bersih dan lebih nyaman untuk ditinggali. Kalau pun aku ngga dapet kesempatan untuk tinggal di Tokyo, aku masih mau loh tinggal di Kyoto hahahahaha ngimpi aja lu.
Di Hari Pertama itu juga aku capek banget karena baru tahu kalau jalan Sanneizaka dan Ninenzaka ternyata nanjak. Mana kesalahanku saat itu adalah bawa-bawa tas kamera karena aku lebay langsung bawa 4 kamera sekaligus padahal ngga dipake semua juga. Tapi cukup puas karena langsung sempat dapet Sanneizaka dan ngadem juga di Starbucks Sanneizaka yang konon bangunan sama vibes di dalamnya beneran masih dipertahankan ciri khas tradisional Jepangnya. Meskipun yah, se-rame itu. Memang kuncinya kalau mau main di Kyoto harus berangkat pagi atau pergi di saat low season.
Di Hari Kedua, baru aku niatin untuk pergi berkeliling Kyoto dari pagi. Aku berangkat jam 7 waktu setempat jadinya memang ngga terlalu kena rush hour. Rupanya kunci dari jalan-jalan di Jepang agar ngga terjebak rush hour adalah berangkat di kisaran jam 7-8 pagi. Keretanya memang rame sih tapi ngga sampai se-rame KRL Jabodetabek. Masih rame kayak KRL kalau di hari Minggu siang tapi bukan jurusan Depok dan Sudirman. Di Hari kedua, rute perjalananku adalah Take no Michi (Bamboo Path) disambung ke Kitano Tenmangu Shrine lalu ke Kinkaku-ji, lanjut ke Daruma Dera dan terakhir ke Kiyomizu Dera yang mana ternyata aku muter-muter lagi di sekitaran Sanneizaka dan Ninenzaka.
Seperti yang aku bilang, Take no Michi ini bukan Arashiyama Bamboo Forest yang terkenal itu. Ini adalah substitusi dari Arashiyama yang lebih sepi dan ngga banyak orang tahu. Cuma saking ngga banyak yang tahu jadinya beneran sepi banget dan kalau pergi ke sini sendirian ya rada horor juga. Kondisi pas aku pergi itu masih pagi banget dan jalanannya bener-bener sepi, aku jadi takut main ke hutan bambu lalu diculik wewe gombel. Jadinya aku cuma foto-foto sebentar lalu langsung putar badan ke destinasi berikutnya yaitu Kitano Tenmangu.
Nah, si Kitano Tenmangu ini masuknya gratis. Dan super tranquil alias kalau udah ke sini bawaan hati dan pikiran itu kalem dan tenang kayak air jernih yang mengalir gitu aja. Udaranya sejuk banget. Jujur selama di Jepang jadi bersyukur karena dikasih kesempatan menghirup udara yang super bersih dan bisa memandang langit berwarna biru muda banget. Sebuah kesempatan yang rada mahal untuk didapatkan apalagi kalau tinggalnya di Jakarta. Kitano Tenmangu ini kalau ngga salah kuil budha dengan arsitektur masih seperti kuil Shinto. Pas aku ke sana kebetulan lagi ada upacara juga. Dan orang-orang yang datang pada membungkuk memberi penghormatan. Berhubung aku Muslim ya aku tidak melakukan itu dong, nanti musyrik. Cuma ya tetep aku kulo nuwun dan menghargai budaya setempat. Segala sudut dari kuil ini cantik, tempatnya asri. Pokoknya kuil ini rada underrated karena ngga banyak orang yang tahu. Tapi kalau dibandingkan dengan Kinkaku-ji dan Kiyomizu Dera ya memang beda arsitektur. Kinkaku-ji dan Kiyomizu Dera ini lebih wah dan cakep, makanya lebih populer sebagai tourist attraction. Sayangnya pas aku jalan-jalan di hari kedua, aku lagi ngga pegang uang cash karena uangku udah abis kupakai meng-gacha. Jadinya aku cuma sampai ke tempatnya Kiyomizu Dera dan Kinkaku-ji tapi ngga sempat masuk. Bayar tiketnya pakai uang cash ya bun, tolong!
Lanjut setelah dari Kitano Tengu dan Kinkaku-ji yang mana aku ngga jadi masuk, aku menyempatkan diri ke Daruma dera. Ini juga salah satu kuil yang ngga banyak diketahui orang. Tempatnya di tengah perkampungan banget. Pas masuk ke kuil, rasanya rada horor karena di kuilnya ada satu ruangan yang banyak banget boneka Darumanya. Di situ aku langsung merinding disko dan ngga berani lama-lama. Setelah itu memilih untuk kabur dan menuju ke destinasi selanjutnya yaitu nanjak-nanjak Ninenzaka menuju Kiyomizu Dera.
To sum up, I really love Kyoto. Pas udah balik ke Indonesia, rasanya pengen eksplorasi daerah-daerah Kyoto yang lebih remote dan tranquil.
Osaka Turis Basic
"Hah kamu kenapa pake Shinkansen dari Kyoto ke Osaka, Gista? Kan itu kotanya tetanggaan." ujar temanku yang memang warlok Jepang. Tanpa aku tahu kalau memang ternyata dari Kyoto ke Osaka itu bisa pakai kereta lokal. Pas di Kyoto bahkan aku sempat naik kereta yang jurusannya itu ke Umeda Station di Osaka. Jadi kenapa aku harus naik Shinkansen? Yah, karena aku ngga tahu cukup aku saja yang menjadikan ini pelajaran. Next time Kyoto - Osaka naik kereta lokal aja, dan semoga para pembaca juga belajar dari kesalahanku ini ya. Untungnya Shinkansen Kyoto - Osaka juga ngga semahal itu sih pembaca yang budiman hehe.
Di hari pertama di Osaka dari stasiun Kyoto, seperti biasa aku menggunakan cara serupa yaitu nitip koper segede gaban di loker. Baru setelah itu aku pergi jalan-jalan. Destinasi pertama begitu sampai di Osaka adalah Osaka Castle. Kebetulan beli tiketnya bisa langsung di KLOOK, beli langsung di tempat juga bisa kok ada vending machine-nya. Cuma bayarnya yang rada bikin was-was, kalau bisa pakai IC Card sih gampang, tapi kalau harus cash nah lain cerita.
Osaka Castle ini destinasi turis paling basic buat yang barusan pergi ke Osaka. Ceritanya Osaka Castle ini jadi saksi bisu bangunan Jepang zaman feodal (Sengoku) dalam menghadapi musuh. Buat aku yang tontonannya Inuyasha, udah familiar banget dengan modelan kastil Osaka ini. Sejarah yang kebetulan diangkat banget oleh kastil ini adalah sejarah Toyotomi Hideshi, salah satu figur yang juga diromantisasi oleh orang Jepang. Konon katanya Toyotomi Hideshi ini berasal dari keluarga yang biasa-biasa aja tapi kemudian jadi super sukses. Tapi setelah aku baca lagi, ternyata salah satu faktor kesuksesan dia adalah mengabdi pada Shogun terpandang zaman itu yaitu Nobunaga Oda. Bagi yang suka baca manga era sengoku atau yang udah biasa baca sejarah Jepang pasti ngga asing dengan Nobunaga Oda.
Bagian paling disukai oleh turis dari Osaka Castle ini adalah observation decknya di lantai 8. Pas masuk kita bisa langsung diantar ke lantai 5, setelah itu naik pakai tangga sebanyak 3 lantai. Sembari naik tangga, bisa baca-baca sedikit sejarah terkait Toyotomi Hideshi dan zaman ke-shogun-an Jepang. Nanti turunnya full pakai tangga lagi sembari baca-baca sejarah lagi. Kebetulan juga karena aku anaknya sangat manga, akhirnya jadi mikir ngga heran kalau mangaka Jepang tuh bikin cerita dengan setting Jepang zaman dulu cukup akurat. Pasalnya emang material untuk mendukung dibangunnya setting sejarah itu lengkap banget.
Lepas dari Osaka Castle, aku melanjutkan perjalanan ke Midosuji yang mana sepanjang perjalanan aku terdistraksi oleh berbagai macam hal. Kayaknya baru di Jepang ini deh aku terdistraksi oleh bermacam hal. Pas otw ke Midosuji ternyata aku udah nyampe di jalanan Hozenji. Dan sama kayak Kyoto ternyata landmark di Osaka juga berdekatan satu sama lain. Hozenji ini ternyata langsung menyatu dengan area Dotonbori. Jadi konsep hari itu adalah sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Sebelum akhirnya nemu banget si Midosuji temple ini, aku sempat terdistraksi Gacha, terdistraksi kesasar di wilayah dimana banyak banget area host club. Sampai terdistraksi Chibo Okonomiyaki yang memang ada di bucket list-ku. Tapi pada akhirnya memang aku sampai juga di Midosuji yang lagi-lagi ini juga se-sederhana kuil di area kuliner. Midosuji konon sejarahnya memang merupakan kuil yang didirikan oleh warga setempat yang sejak zaman dulu di daerah tersebut diisi oleh para pedagang dan penjual makanan. Kuilnya kecil tapi jadi tempat pengingat bahwa ya yang bikin rezeki mengalir di situ adalah kuil itu juga.
Setelah puas muter-muter di kawasan Hozen-ji sampai bosan ngeliat penjual makanan takoyaki dan lain sebagainya, aku mencoba menyusuri sungai di sebelah Hozen-ji sembari menuju ke Dotonbori. Dotonbori ini populer dengan Glico signage itu. Padahal tempatnya ya ruko-ruko dan tempat makan lagi di samping sungai aja. Cuma yah jalan di pinggiran sungai Osaka sama jalan di pinggiran sungai Jakarta itu beda banget. Sungainya memang ngga jernih banget juga tapi bersih dan betulan dimanfaatkan untuk wisata. Andai aja pemerintah Indonesia memanfaatkan sungai sebagai salah satu kanal untuk meningkatkan daya tarik pariwisata kayak di Bangkok dan di Jepang, mungkin Indonesia makin banyak wisatawannya. Tapi ya sudah, itu bukan suatu hal yang perlu aku khawatirkan karena bukan kerjaanku.
Ada satu spot yang sebetulnya rahasia ngga rahasia. Khususnya buat turis sepertiku yang tahunya dari sosial media juga. Jadi tempat ini tuh katanya best spot untuk foto dengan Glico signage dan ya ngga salah juga, terus antreannya juga ngga sepanjang itu. Ada satu kisah lucu pas aku foto di tempat ini, karena aku ngga bawa tripod dan lagi solo traveling akhirnya aku ambil selfie kan. Mungkin karena kasihan aku foto sendirian dengan hasil yang ga bagus-bagus amat, akhirnya ada salah seorang stranger yang menawarkanku untuk mengambil fotoku. Baik banget! Tentu saja aku mau dan aku juga menawarkan jasa serupa. Jadi aku betul-betul niat mengambilkan foto stranger ini. Terima kasih banyak loh Mas Bule yang ketemu di Osaka.
Puas jalan-jalan di Dotonbori dan sekali lagi mensyukuri aku masih dikasih kesempatan untuk menghirup udara segar dan menikmati hidup yang tenang dan kalem di Jepang, aku lanjut berbelanja oleh-oleh di Don Quijote. Soalnya hanya hari itu aku sempat belanja oleh-oleh sebab hari selanjutnya aku pasti akan full seharian main di Universal Studios Jepang lalu pulang ke Indonesia. Jika hari-hari sebelumnya aku ngga pernah makan, minum, atau belanja lebih dari JPY 1000 nah di hari itulah aku belanja sampai lebih dari JPY 1000.
To sum up di Osaka aku missed beberapa hal karena keterbatasan jadwal dan energi. Cuma kayaknya memang aku sengaja melakukan itu biar selalu ada alasan untuk kembali ke Jepang, kembali ke Osaka, kembali ke Kyoto, dan kembali ke Tokyo. Yah walaupun Jepang itu terlalu luas untuk dikunjungi cuma sekali seumur hidup. Sudah pasti aku akan ke Jepang lagi karena Jepang seluas itu dan se-cakep itu!
Tips and Trik Turis Basic
Adapun tips and trik dalam ringkasan sesuai dengan pengalamanku selama di Jepang dan mungkin berguna bagi pembaca adalah sebagai berikut:
- Shinkansen, untuk shinkansen ini tiketnya bisa dibeli di KLOOK. Pada umumnya turis membeli tiket Shinkansen dengan cara beli JR Pass-nya dulu. Hanya saja karena aku datang ke Tokyo dan pulang dari Osaka, aku memilih untuk berhemat dengan ngga membeli JR Pass. Hitung-hitungan JR Pass dan kurang lebihnya bisa dicek di halaman KLOOK berikut. Di situ panduannya lengkap banget. Sementara jika kamu beli tiket Shinkansen, e-ticket yang kamu terima di KLOOK harus ditukar dulu ke tiket fisik di stasiun-stasiun besar. Kebetulan karena aku tinggal di Ueno, aku jadi bisa ambil tiket shinkansen di stasiun tersebut. Tiketnya ada dua kertas dan kedua kertasnya harus dimasukkan ke mesin tiket ketika kamu melakukan perjalanan dengan shinkansen. Yang perlu dicatat lagi adalah kamu harus mengecek reserved/non-reserved seat hal ini berkaitan dengan over baggage jika kamu membawa bagasi yang ukurannya melebihi ukuran. Bisa jadi kamu harus beli dua seat atau bisa jadi kamu ngga bisa meletakkan bagasimu di tempat sebagaimana mestinya. Kebetulan pas dari Tokyo - Kyoto, aku bisa meletakkan bagasi di bagian paling belakang seat reserved seat tapi pas dari Kyoto - Osaka, koperku dilempar orang ke lorong karena sepertinya mengganggu seat dia di non-reserved seat.
- Hotel dan akomodasi. Untuk Hotel dan Akomodasi, saran dan tips pentingnya adalah cari akomodasi yang deket dengan Stasiun karena ini sangat convenient. Harga murah boleh tapi paling penting adalah kemudahan transportasi. Terus, hotel di Jepang itu juga sudah sangat bagus dengan harga di rate Rp 750 ribu-an. Dengan harga tersebut dapat kamar double bed, sudah include piyama, amenities, bath tub, bahkan ada hotel yang sampai menyediakan bath salt ataupun face mask, dan super nyaman. Kalau mau nambah sarapan biasanya nambah lagi sekitar JPY 1000-1200. Kalau ngga mau nambah ya ngga papa, sah-sah aja. Hostel di Jepang juga termasuk nyaman meskipun shared bathroom. Aku ambil yang khusus perempuan, kamar mandinya bersih dan rapi juga. Terus nilai plus dari hotel di Jepang adalah selalu punya washing room, jadi kuncinya kalian ngga perlu bawa baju banyak karena selalu bisa mencuci plus ngeringin di tiap hotel hanya dengan bayar JYP 500 (termasuk pengeringan dan udah beli deterjen). Pas di Jepang kemarin aku rajin cuci baju karena males bawa baju kotor lalu bisa reuse baju-baju yang sudah kupakai. Terima kasih Jepang karena hospitality-nya sungguh bagus dan fasilitas sungguh sangat memanjakan diri ini.
- Makanan. Untuk makanan juga ngga susah karena kalau mau stay halal bisa memilih makanan berbahan dasar seafood. Kalau aku kebetulan lebih banyak makan makanan konbini (convenience store). Lalu konbini di Jepang ini udah seperti Alfamart dan Indomaret, di setiap pengkolan ada. Sama kayak vending machine, di setiap pengkolan ada. Kalau mau makan di restoran, pastikan aja ngga makan yang non-halal. Dan sudah ada juga list rekomendasi restoran di itinerary-ku di atas. Untuk makanan ini biasanya kalau di restoran sudah disediakan IC Card reader, jadi bisa langsung "Suica Onegaisimasu~" atau kalau ngga ya lebih baik siapkan cash aja. Tapi yah berhubung aku makannya cenderung makan apa aja memang tidak ambil pusing. Pokoknya kalau sudah mentok sih aku kembali pada konbini meals yang udah lebih dari cukup.
- Kartu Transportasi dan Pembayaran. Nah kalau yang ini sudah pasti harus punya IC Card, untuk IC Cardnya bebas mau Suica, Pasmo, ICOCA, Sugica dan segala macamnya. Tapi basic-nya ya Suica alias kartu semangka. Konon kabarnya karena keterbatasan chip untuk IC Card, unregistered Suica dihentikan sementara walhasil para turis bisanya baru pake welcome Suica yang bisa didapatkan langsung di stasiun di Jepang. Kalau aku kemarin full menggunakan Suica yang terintegrasi di Apple Pay karena kebetulan aku punya kartu debit yang bisa digunakan di Apple Pay alias kartu debit bukan keluaran perbankan Indonesia. Jadinya pas mau top up Suica juga bisa pake kartu tersebut. Selain berfungsi sebagai kartu pembayaran transportasi hampir dimanapun (Tokyo, Kyoto, Osaka) dan dengan moda transportasi apapun (Kereta, JR, Yurikamome, Bus), Suica juga bisa digunakan sebagai alat pembayaran untuk beli makan maupun barang-barang. Bayar di konbini juga sangat direkomendasikan menggunakan Suica. Jadi ya intinya daripada bayar pakai kartu debit, mending pakai Suica aja. Oh iya, kartu debit Jenius bisa digunakan untuk bertransaksi di Jepang, bisa juga digunakan untuk tarik tunai di Jepang. Jadi masalah pembayaran cukup aman pakai IC Card dan kartu debit visa paywave international. Meskipun ada beberapa tempat yang cuma menerima cash seperti: kalau mau meng-gacha, kalau mau menggunakan mesin cuci di hotel, ataupun lagi makan di restoran yang ngga nerima kartu. Misal mau bayar pakai kartu tinggal bilang aja "Kaado onegaisimasu~."
- How to avoid crowds. Nah kalau yang ini tipsnya adalah bangun pagi beneran sih. Semakin pagi akan semakin sepi. Opsi kedua adalah pilih tempat yang ngga mainstream seperti yang aku lakukan. Opsi ketiga adalah datang di low season. Kebetulan aku kemarin datang pas lagi liburan musim panas, jadi turisnya juga kebanyakan warga lokal. Lagipula kurang recommended kalau datang di musim panas karena panasnya terik banget. Sungguh aku jadi menghitam setelah pulang dari Jepang. Malah lebih putih pas lagi di Jakarta. Oh iya, jangan datang juga pas Golden Week (sekitaran bulan Mei) soalnya di minggu itu lagi ada Hari Anak Nasional dan orang-orang pada libur juga.
Mungkin cukup sekian postingan dari series Jejepangan. Menulis kisah soal Jepang ini kayaknya ngga ada habisnya karena terlalu banyak cerita dan terlalu banyak detil yang ingin kuceritakan atau ngga mau kulupakan. Sampai jumpa di postingan selanjutnya yaitu dengan konsep jalan-jalan yang belum diceritakan di postingan ini.
Ja, mata ne~
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)
In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)