Jalan-jalan Libur Lebaran di Thailand (Part 1)
Sejak aku pulang dari Inggris dan telah merasakan nikmatnya traveling keliling Eropa, aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku juga harus menjelajah Asia Tenggara. Saat itu aku berpikir, kalau aku sudah mengitari sebagian dari Eropa kenapa aku ngga sekalian juga mengitari sebagian dari Asia Tenggara tempatku tinggal? Hitung-hitung juga dekat dari negara sendiri kan. Apalagi sepertinya saat ini aku sudah kecanduan traveling. Bagiku kalau ngga traveling rasanya kurang afdol. Belum lagi aku ditaagih adikku terus untuk mengajak dia berpergian ke luar negeri. Ya sudah, sekaligus merayakan dan memberikan adikku hadiah ulang tahun ke-17 aku mengajaknya pergi traveling bersamaku. Bonusnya, aku ngga lagi traveling sendirian.
Dalam merencanakan perjalanan ke Thailand ini sebetulnya bisa dibilang setengah mendadak, setengah matang. Sebelum benar-benar memutuskan ke Thailand, aku sempat kepikiran untuk mengajak adikku pergi ke Vietnam. Alasannya karena penasaran aja dengan Vietnam. Setelah itu, tujuan berganti ke Singapura sebagai destinasi umum orang yang pertama kali ke luar negeri. Kalau harga hotel di Singapura ngga semahal itu, mungkin aku memang akan fix mengajaknya ke Singapura. Apalagi transportasi umum di Singapura sudah sangat kupahami bagai tercetak di belakang kepala. Ada Universal Studio Singapura lagi. Berhubung hotel di sana mahal, akhirnya aku mengubah tujuan ke Thailand dengan harga hotel yang lebih murah untuk menginap lebih lama dan harga kebutuhan hidup lainnya juga lebih murah Sekalian mencari suasana baru.
Persiapan Sebelum Berangkat
Seperti biasa dalam perjalanan travelingku sejak ke Korea tahun lalu, aku selalu membuat draft itinerary di Notion. Templat yang aku gunakan juga templat yang telah aku buat untuk perjalanan Korea. Dimulai dari calendar of events, alokasi dana, skedul perjalanan, hingga daftar tempat beserta link yang berguna yang dapat digunakan sepanjang perjalanan nanti.
Persiapan pertama biasanya aku harus menentukan tanggal pergi dan mengecek harga hotel dan tiket. Kalau belum ada cukup dana untuk beli tiket pesawat, biasanya aku melakukan booking hotel terlebih dahulu. Booking hotel ini biasanya aku pilih yang bisa dibayar di kemudian hari dekat-dekat waktu check in atau dibayar sekalian di hotel dengan syarat bisa dicancel minimal satu minggu sebelum perjalanan dilakukan. Kebetulan untuk tiket pesawat aku baru bisa beli di awal bulan Juni dan itu harga tiketnya sudah lebih mahal daripada waktu terakhir aku mengecek 2 bulan sebelum fix berangkat menuju Thailand. Untuk tiket pesawat sendiri, aku membelikan tiket yang terpisah antara aku dengan adikku. Adikku berangkat dari Surabaya dan transit di Singapura. Sementara aku berangkat dari Jakarta lalu transit di Malaysia. Jam kedatangan kami pun berbeda cukup jauh yaitu 3 jam. Dua bulan sebelum berangkat, aku masih menemukan tiket dengan jam kedatangan yang tidak terlalu jauh berbeda, tapi karena baru punya uang lebih terlambat jadinya kami harus berpisah.
Setelah mengamankan tiket dan booking hotel barulah aku mencari-cari tempat yang harusnya dikunjungi waktu di Thailand. Itupun aku mencari banyak informasi dari teman-teman yang sudah ke Thailand sebelumnya, khususnya untuk tempat makan. Beres itinerary, barulah lanjut ke step berikutnya yaitu keberangkatan.
Keberangkatan
Berkaitan dengan perbedaan tiket pesawat antara aku dan adikku, aku sedikit merasa bersalah juga paa adikku. Apalagi kalau membayangkan dia harus stay menungguku 3jam di bandara Suvarnabhumi malam-malam. Akhirnya aku meminta tolong salah satu teman, lebih tepatnya guru Bahasa Jermanku dulu yang kebetulan masih berkontak baik denganku, Mbak Sipta untuk menjemput adikku di bandara. Mbak Sipta mengiyakan permintaan tolongku dan mengantarkan adikku hingga ke hotel dengan selamat. Tapi sebetulnya aku jadi berhutang banyak kepadanya karena ada beberapa hal yang tidak bisa dibayar menggunakan kartu debit Jenius.
In return to my favor, sebetulnya aku tuh meminta adikku membawakan keripik tempe dari Malang untuk oleh-oleh Mbak Sipta. Tapi justru keripik tempe inilah yang jadi malapetaka di hari keberangkatan kami. Perjalanaku sih lancar-lancar saja, tapi perjalanan adikku drama banget. Sepertinya ground staff di Surabaya ini memang agak bego. Keripik tempe biasanya boleh dibawa hand-carry karena ukurannya memang ukuran kabin. Hanya saja waktu itu petugasnya memaksa orangtuaku yang membantu check in adikku untuk membagasikan keripik tersebut. Tololnya, keripik tempe itu harus diambil di bagasi di Singapura. Yang mana untuk mengambil bagasi transit di Singapura harus melewati antrean imigrasi dan harus check in ulang. Untuk adikku yang baru kali pertama melakukan perjalanan ke luar negeri, tentu saja hal ini sulit. Dia hampir ketinggalan pesawat ke Bangkok karena keripik tempe ini.
Ditambah lagi, di saat krisis melanda aku masih berada di dalam pesawat.. Sehingga adikku panik sendirian dan menangis. Kebayang sih. Akhirnya waktu aku landing dan sempat mengontaknya, aku menyetujui keputusannya untuk meninggalkan keripik tempe itu. Walhasil ya keripik tempenya ngga pernah sampai ke Mbak Sipta.
Tambahan lagi, jadwal landing adikku di Singapura yang menyebabkan drama tertinggalnya keripik tempe ini juga disumbang oleh delay jadwal pesawat dari Surabaya. Jika seharusnya adikku memiliki waktu transit 2.5 jam, dia jadi hanya punya waktu 1 jam saja hingga penerbangan lanjutan ke Bangkok.
Lesson 1: Pastikan untuk mengecek rentang waktu yang dibutuhkan untuk mengambil bagasi transit dengan waktu terbang selanjutnya atau ya keripik tempenya sekalian dimasukkan ke koper saja.
Dari sisiku, karena aku baru sampai pukul 11 malam waktu Bangkok dan sebetulnya ngga terlalu paham dengan moda transportasi di Bangkok bisa dibilang perjalananku setengah lancar setengah kurang lancar. Memang ada sih kereta bandara dari Suvarnabhumi ke kota, apalagi ke hotelku. Dari Bandara ke Hotel bisa menggunakan satu jenis moda ngkutan saja. Permasalahannya adalah soal membayar moda transportasi tersebut. Setelah aku landing, aku langsung mengikuti petunjuk arah menuju basement untuk mengambil kereta bandara dan langsung menuju gate kereta sambil menempelkan visa debit contactless Jenius. Ternyata Jenius tidak bisa digunakan untuk kereta bandara guys. Di situ aku diinfokan oleh Satpam untuk mengambil uang cash. Jam setengah 12 malam, aku berputar-putar mencari mesin ATM. Untungnya ketemu. Setelah mengambil uang, aku masukkan ke vending machine tiket. Ternyata eh ternyata vending machine tiket kereta hanya menerima pecahan 100, 20, dan 50 THB. Akhirnya aku harus mencari cara untuk menukar uang. Untung di dekat stasiun kereta bandara ada 7-11 akhirnya aku membeli satu sushi dan mendapatkan kembalian yang bisa kugunakan untuk beli token perjalanan menuju hotel.
DAY 1
Setelah semua drama di hari ke-0 dan aku baru banget nyampe hotel tengah malam. Ditambah lagi aku masih harus lembur mengerjakan pekerjaanku sampai jam 2 pagi. Jadinya aku baru bisa bangun agak siang. Sehingga aku dan adikku baru memulai perjalanan hari pertama jam 10 pagi. Tujuan kami di hari pertama sebetulnya adalah landmark yaitu candi-candi, Mont Nomsod yaitu sebuah toko roti yang direkomendasikan temanku dan mengakhiri hari dengan pesiar di Sungai Chao Phraya.
Kami cukup sarapan 7-11 yang kebetulan lokasinya berdekatan dengan hotel. Adikku membeli Samyang, Butter Toast untuk aku, dan dua minuman susu. Tujuan pertama adalah ke Mont Nomsod untuk brunch karena aku pikir toko roti ya cocoknya untuk sarapan. Kebetulan lokasinya memang dekat dengan lokasi per-candian seperti Wat Phra Cethaphon dan The Grand Palace. Setelah naik transportasi umum, entah kenapa kami berjalan kaki jauh sekali hingga ke Mont Nomsod. Pas sudah sampai ternyata zonk karena tempatnya masih tutup dan digunakan untuk syuting.
Di situ adikku sudah mengeluh parah “Seharusnya sebelum mengunjungi suatu tempat, Mbak Lala telepon dulu tempatnya dipake syuting apa ngga.” Apalagi sebelumnya aku sempat selalu suka salah arah yang membuat adikku makin bete dan aku makin tertekan. Beginilah bund kalau ngga traveling solo, ada pressure kalau aku ngga bisa baca map.
Karena zonk, akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya yaitu Wat Phra Cethaphon. Yang kemudian diiringi dengan adikku yang masih mengeluh karena terlalu banyak jalan kaki. Sehingga kami random mampir ke sebuah kedai Mango Sticky Rice Kor Panit. Kedai ini kecil banget, hanya ada dua meja dan kursi pelanggan di depan tokonya. Di samping-sampingnya terdapat ibu-ibu jualan mangga. Meskipun kecil, toko ini ramai. Aku jadi curiga jangan-jangan ini hidden gem? Ternyata Kor Panit Mango Sticky Rice memang sebuah restoran Michelin Star sejak tahun 2018.
Ngga salah juga kalau Kor Panit ini mendapatkan Michelin Star, selama dua hari di Thailand jujur Kor Panit merupakan satu-satunya mango sticky rice yang paling enak. Mangganya itu manis tapi tidak terlalu manis seperti mangga Indonesia, rasa mangganya bahkan ada hint kacang-kacangan. Belum lagi daging mangganya berasa buttery di mulut. Ketan alias Sticky Ricenya juga enak banget dengan santan yang lebih kental. Ketannya gurih, manis, dan creamy di mulut. Harga satu porsi memang lebih mahal yaitu 125 THB dibandingkan mango sticky rice yang dijual di street food. Tapi percayalah Kor Panit memang layak menyandang gelar Michelin Star.
Lesson learned: di setiap kejadian selalu ada hikmah
Iya hikmah kami ngga jadi ke Mont Nomsod adalah menemukan restoran Michelin Star random karena adikku ngidam banget sama mango sticky rice.
Rupanya selain bete karena capek diajak jalan jauh, adikku bete karena lapar. Padahal dia sudah sarapan samyang. Setelah makan mango sticky rice, mood adikku berangsur-angsur membaik dan mau aku ajak jalan lagi. Hanya saja di hari itu Bangkok panasnya masya Allah! Tapi memang kami nyampe di kompleks candi sekitar pukul 12-1 siang sih jadi memang puanas banget. Untuk meredakan rasa panas, aku dan adikku turun dulu ke rubanah di dekat kompleks candi sembari mengisi daya handphone kami masing-masing.
Pukul setengah 2 siang, kami baru naik lagi ke atas dan kami ternyata mengunjungi The Grand Palace yang rame dengan turis dan lagi-lagi harus terpapar sinar matahari panas Bangkok. Mungkin karena hari itu panas dan ramai, aku jadi sempat marah-marah ke adikku karena ngga bisa mengambil foto yang bagus. Tidak seperti yang aku lakukan. Belum lagi aku sudah kepikiran ngga akan sempat juga ke Wat Arun karena harus menyeberang sungai, sementara kami harus mengejar waktu untuk ke ICON SIAM sebagai tempat berangkatnya dinner cruise kami.
Setelah merasa cukup berputar-putar dan mengambil foto di The Grand Palace komplek, aku dan adikku menuju ke pelabuhan terdekat. Rupanya cara termudah menuju ke ICON SIAM dari kompleks candi tersebut adalah dengan naik kapal feri mengarungi sungai Chao Phraya. Iya, di Bangkok terdapat sungai dan kanal-kanal yang memang difungsikan sebagai transportasi umum juga. Di saat itu juga aku berpikir, Bangkok kan ibukota tapi dia bisa difungsikan sebagai tourism attraction juga. Kenapa Jakarta ngga begitu ya?
Satu hal lagi yang aku pelajari dari perjalananku naik feri ini, sebetulnya aku dan adikku sempat ke Wat Arun karena hanya satu stop dari pelabuhan tempat kami berangkat dari The Grand Palace. Hanya saja mengingat ada bucket list lain seperti ingin makan Pang Cha dan harus stand by sebelum jam 6 sore di ICON SIAM untuk cruise, aku mengurungkan niat ke Wat Arun dan cukup mengagumi Wat Arun dari sudut pandang penumpang kapal saja.
ICON SIAM sendiri merupakan mal yang sering disebut oleh Ten NCT, kalau ngga salah dia pernah bilang kalau sudah pasti dia sering berkunjung ke mal ini pas masih di Thailand. Isinya kurang lebih seperti Grand Indonesia, Senayan City, atau Kota Kasablanka yaitu jenama-jenama high-end luar negeri. Di dalam ICON SIAM ada sebuah floating market indoor yaitu Sook. Tapi aku dan adikku memilih untuk duduk-duduk di Starbucks saja sambil nyemil kecil. Kami ngga ingin menjadi terlalu kenyang karena malamnya kami akan makan All You Can Eat di dinner cruise. Kami menunggu sekitar 3 jam di ICON SIAM sambil menertawakan banyak hal. Pokoknya aku kalau ketemu adikku isinya ketawa-ketawa terus. Bahkan aku bisa ketawa 2 menit penuh gara-gara adikku.
Di jam 17.30 sore aku dan adikku turun ke pelabuhan di depan ICON SIAM hanya untuk mengetahui bahwa voucher yang kubeli di KLOOK harus ditukar dengan tiket fisik terlebih dahulu. Dengan agak terburu-buru aku mengajak adikku melewati SOOK Oh iya ngomong-ngomong melewati SOOK, kami ngga jadi makan Pang Cha karena rame banget. Karena sengaja mengosongkan perut juga kami ngga jajan di SOOK. Coba kalau malam itu ngga AYCE, mungkin aku sudah mengajak adikku untuk kalap jajan di SOOK. Tempat penukaran tiket cruise ini ada di bagian paling belakang SOOK dan agak terpencil. Tiada kusangka ternyata banyak orang yang ingin cruise juga. Namun proses penukarannya cukup sat set wat wet. Aku jadi merasa keburu-buruanku ngga terlalu membuahkan hasil, ternyata kapal yang akan kami tumpangi baru akan berangkat pukul 19.30 malam.
Setelah menukarkan tiket, aku dan adikku kembali ngadem dan berputar-putar di ICON SIAM sambil ketawa-ketawa lagi.
Pukul 19.15 aku dan adikku kembali turun ke pelabuhan untuk antre menuju kapal pesiar kami. Ngga disangka ternyata yang ngantre udah buanyak banget. Penyedia jasa AYCE Dinner Cruise ini ada cukup banyak dengan berbagai jenis layanan yang berbeda. Kebetulan kapal yang aku tumpangi adalah Chao Phraya Dinner Cruise dari rekomendasi temanku. Harga satu tiketnya sekitar 500 THB, untuk berdua aku membayar sekitar 1,000 THB. Adapun pilihan makanannya cukup beragam dari seafood, daging, hingga makanan berat Thailand dan pasta, sampai dessert. Tapi malam itu aku mengambil cukup banyak sushi dan sashimi lalu sempat mencicipi Pad Thai dan Grilled Saba. Sementara adikku mengambil pasta yang menurutnya membuatnya eneg.
Kalau aku ngga trauma makan kerang, mungkin aku juga sudah mengambil banyak kerang hijau (mussel).
Di Dinner Cruise ini sayangnya aku dan adikku mendapatkan kursi di deck bawah dan tidak dekat dengan jendela. Sehingga kami kurang bisa menikmati esensi dinner cruisenya. Padahal kalau dilihat dari jendela, pemandangan sepanjang sungai Chao Phraya tuh bagus banget. Kami melewati Asiatique, melewati War Arun di malam hari, dan sebagainya. Selama dua jam akhirnya aku dan adikku makan secukupnya, mendengarkan suara mbak-mbak biduan yang bisa menyanyikan lagu dalam berbagai macam bahasa dan ketawa-ketawa lagi. Untuk makanannya sendiri sebetulnya oke kok. Cuma kalau dibilang yang terbaik banget kayaknya ngga juga deh. Rasanya ya seperti AYCE yang pernah kumakan di hotel-hotel yang dikunjungi dinas kantor, bukan yang uwenak pake banget. Cuma kalau dibilang worth it atau ngga kayaknya tergantung penempatan kursinya ya. Kalau dapat kursi yang dekat jendela atau yang berada di deck atas sih seru.
Kami selesai cruising pukul 21.30, kami mulai mengejar-ngejar BTS karena mall tutup pukul 22.00. Di Thailand terdapat bermacam moda transport: MRT, SRT, BTS, Kereta bandara, kapal kecil, kapal feri, dan bus. Busnya pun bermacam-macam ada yang AC dan non-AC. Namun kartu debit visa contactless Jenius hanya bisa digunakan langsung di MRT atau SRT saja, sementara moda transportasi lain harus beli tiket manual dengan uang cash di vending machine.
Lesson learned: sediakan cukup cash untuk daily needs di Thailand karena pada umumnya transaksi masih dilakukan dengan pembayaran cash.
Pas kami mau naik BTS-pun yang ternyata ngga menerima visa debit contactless Jenius, jadinya aku dan adikku cukup kelabakan. Apalagi ternyata BTS dari ICON SIAM tidak menuju stasiun sesuai yang ditunjukkan oleh Google Maps. Jadinya kami harus turun di Stasiun lain dan baru memesan grab karena sudah kemalaman banget dan kami minim cash untuk membayar tiket ke stasiun selanjutnya. Untungnya grabnya ngga terlalu mahal. Akhirnya malam itu kami tutup dengan sampai hotel dengan selamat naik grab.
Pas memesan grab di Bangkok juga ada satu anekdot yaitu kami harus naik turun stasiun karena ngga melihat mobil Bapaknya. Rupanya grab di Thailand ini memang bekerja sama dengan Opang (Ojek Pangkalan) dan juga Taksi resmi Bangkok. Jadi semua pengemudi punya ID Card, bukan pengemudi personal. Lalu mereka juga akan telaten menunggu kita. Seperti kasus aku pesan grab untuk pulang ke hotel. Bapaknya menunggu kami kurang lebih 10 menit karena aku dan Bapaknya miskomunikasi. Ditambah lagi Bapaknya ngga bisa berbahasa Inggris. Untungnya Bapaknya sabar menanti dan masih mau mengantarkan kami sampai tujuan dengan selamat.
Conclusion DAY 1
Hari pertama di Thailand pada dasarnya aku dan adikku sudah memenuhi list dari itinerary: pergi ke kompleks candi, makan mango sticky rice, dan dinner cruise. Meskipun ada destinasi yang di-skip seperti Wat Arun dan Mont Nomsod. Kami sudah naik 5 jenis moda transportasi: Kereta Bandara, MRT, BTS, Kapal Feri, dan Grab. Kami makan enak dan kenyang. Kami berjalan 15 ribu langkah. Dan di hari pertama akhirnya aku pun jadi tahu bagaimana cara mengatur pembayaran kapan menggunakan cash dan kapan menggunakan visa debit Jenius contactless. Bangkok di hari pertama seru! Mari kita lanjutkan ceritanya di hari ke-2 dan ke-3 di postingan selanjutnya.
Cheers!
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)
In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)