Tontonan Menuju Akhir Tahun Yang Cukup Memorable Buatku
Sebagai seseorang yang memang suka nonton sekaligus constantly in particular needs of entertaining oneself, aku cukup FOMO untuk hal-hal yang berkaitan dengan tontonan. Yah walaupun kadang juga nonton sesuatu because I just simply discovered them from the platform. Dan nggak jarang juga bahkan aku tuh lagi males nonton serial baru, terus ujung-ujungnya re-watch lagi serial lama. Memang hidupku ini monoton dan nggak variatif. Sama seperti kalau aku sudah pesan makanan dan suka sama menu tersebut, aku bakal makan itu terus sampe bosen.
Ngomongin soal beberapa serial yang udah aku tonton, di dalam postingan ini aku akan menceritakan mengenai beberapa serial sehingga gak masuk ke kategori khusus. Kategorinya cuma "Tontonan yang Memorable Buatku". Iyes, memorable versiku bisa jadi beda versi kamu. Dan kebetulan ini tontonannya sudah rilis sejak Q3 2021. Postingan ini memang seharusnya dibuat di Q3 tapi aku terlalu mager jadi aku push back ke Q4 dan nge-rename judulnya jadi "Menuju Akhir Tahun". Begitulah latar belakangnya gengs. Nah, tanpa berbasa-basi lagi berikut adalah beberapa serial yang ingin aku bagikan pada kalian. Siapa tahu kalian udah sama-sama nonton atau belum nonton. Yok mare~
P.S: urutan tidak menggambarkan urutan favorit. Random aja.
- Hometown Cha Cha Cha (END)
- Marvel - What If (END)
- DP (S1 - END)
- Squid Game (S1 - END)
- Sex Education (S3 - END)
- My Name (S1 - END)
Awalnya aku tuh mau nulis postingan ini sebelum skandal Kim Seon Ho merebak tapi nggak jadi-jadi. Terus setelah skandalnya merebak, aku jadi males melanjutkan niat nulis. Dan untungnya sekarang skandal sudah ditangani dengan baik dan makin ke sini makin terbukti bahwa ternyata si Mbak Mantan ini punya ulterior motives yang buruk sama Kim Seon Ho. Maka dari itu, aku akan melanjutkan niat review serial ini.
Hometown Cha Cha Cha ini merupakan remake dari sebuah film Korea tahun 2000-an berjudul Mr. Hong. Seperti judul filmnya, tokoh sentral serial ini adalah Hong Dusik (Kim Seon Ho) yang dikenal sebagai Hong-banjang (Chief Hong) dengan pasangannya yaitu Mrs. Dentist Yoon Hye Jin (Shin Min Ah). Aku tertarik nonton serial ini karena memang lagi demen sama akting Kim Seon Ho (thanks to Han Ji Pyeong from Start Up), lalu ada Shin Min Ah si aktris lucu gemas favoritku sejak dia akting jadi Gumiho. Si dimple couple ini bertemu di kota kecil bernama Gongjin. Gongjin merupakan kota pantai, nggak banyak orang yang kenal Gongjin kecuali karena komoditas cumi-cuminya. Suatu hari, si Hye Jin yang perfeksionis, idealis, dan lurus ini pergi ke Gongjin untuk mengenang almarhumah Ibu yang pernah mengajaknya merayakan ulang tahun di sana. Itupun juga karena Hye Jin di-trigger oleh praktik "korup" dokter Gigi Seoul yang membuatnya muak. Di hari dia pergi ke Gongjin, dia bertemu dengan Hong Banjang. Entah karena dia merasa ikatan familiar karena Gongjin menyimpan memori masa kecilnya bersama sang Ibunda atau karena Hong Banjang atau karena di Gongjin belum ada dokter gigi yang praktik, si Hye Jin memutuskan untuk pindah dan membuka klinik gigi di sana.
Cerita drama ini sebenarnya berkutat di Hong Banjang dan Hye Jin, tapi melibatkan orang-orang di sekitarnya. Mulai dari adaptasi Hye Jin dari kota metropolis ke kota kecil pinggir laut hingga ke healing Hong Banjang akan trauma masa lalu yang terus menghantuinya. Yang menarik dari serial ini adalah memang betul ini serial healing. Nggak cuma pemandangan Gongjin aja yang bikin seneng tapi juga orang-orangnya. Warga Gongjin ini seperti warga desa pada umumnya, katrok tapi solidaritasnya tinggi. Bahkan warga Gongjin ini udah kayak keluarga saking dekatnya. Dan masing-masing punya cerita yang membuat penonton paham bahwa manusia itu memang punya cerita sendiri jadi jangan nge-judge sembarangan.
Drama ini sejujurnya merupakan salah satu drama yang jadi favoritku dan sangat membekas dari awal hingga akhir. Ceritanya simpel, hangat, tapi berkesan dan relatable banget di kehidupan orang dewasa. Warga Gongjin seperti Warga Geumga Plaza dari Vincenzo, awalnya nyebelin tapi lama-lama saling menunjukkan bahwa mereka peduli satu sama lain. Sukak!
Selanjutnya ada serial Marvel. Karena aku diberikan akses gratis Disney Plus oleh teman, jadi aku manfaatkan untuk nontonin serial Marvel. Usai Loki, hidupku jadi agak hampa. Beruntungnya Disney Plus merilis serial dari Marvel universe lagi yang nggak tahu bakal ter-inkorporasi di film Marvel berikutnya atau tidak. What If ini merupakan serial animasi, jadi nggak diperankan oleh cast manusia dalam bentuk live action gitu. Premis serialnya adalah alternate universe dari film-film Marvel yang sudah dirilis hingga Avengers: End Game. Signature serialnya adalah narasi The Watcher dan dialog ikoniknya "I am the Watcher. I am your guide through this vast realities. Follow me, and dare to face the unknown. Pounder the question: What if?"
Well, karena premisnya adalah alternate universe, ada beberapa hal yang memang sengaja dibuat berbeda oleh Marvel. Setiap percabangan pilihan menghasilkan konsekuensi. Dan semua percabangan tersebut mengerucut ke episode terakhir yaitu munculnya Ultron sebagai The New Thanos. Kalau di MCU Thanos adalah arch enemy terakhir yang memiliki semua infinity stones, maka di What If Ultronlah yang berhasil mengumpulkan infinity stones. Yang bikin ngeri adalah Ultron berhasil membumihanguskan hampir satu semesta dan hendak menyeberang ke semesta yang lain. Sementara The Watcher yang dari awal kukuh tidak bisa ikut campur urusan satu semesta dengan semesta yang lain, terlibat konflik batin untuk menjaga semesta lain dari serangan Thanos.
Ada beberapa hal yang menarik dari What If, walaupun ada juga yang plotnya nggak fit in dengan semesta MCU yang sudah ada saat ini. Salah satunya adalah Black Panther/King T'challa (Chadwick Boseman) yang memerankan Star Lord. Trivia aja, Chadwick memang pernah audisi untuk menjadi Star Lord sebelum akhirnya kepala casting Marvel memutuskan bahwa si Chadwick lebih berwibawa dan lebih cocok untuk jadi Raja. Thus, he got casted as Black Panther instead of Star Lord.
Nah kalau yang serial satu ini hype-nya nggak se-kenceng serial yang bakal aku ceritakan di nomor 4. Serial ini merupakan original series Netflix, diperankan oleh Jung Hae In. DP menguak cerita kelam yang terjadi di badan militer Korea Selatan. Potret yang berusaha serial ini tangkap adalah kekerasan di dalam barak dan lain sebagainya ketika pria-pria Korea Selatan melaksanakan wajib militer. Masalah hal ini fiksi atau tidak, sebenarnya aku nggak bisa komentar. Karena kalau nonton di seriesnya, memang ada beberapa adegan atau aktivitas yang nggak jauh beda dari kondisi militer sebenernya (berkaca dari pengalamanku tinggal di barak militer).
Ahn Jun Ho (Jung Hae In) merupakan seorang pria miskin yang sehari-hari kerja jadi kurir layanan pesan antar. H-1 sebelum dia harus beranjak ke camp training wamil, dia berurusan dengan bosnya yang ternyata sudah menunggak gajinya beberapa bulan. Karena tahu besoknya dia nggak bakal ketemu bosnya lagi, si Junho membawa kabur motor delivery bosnya lalu menjualnya. Keesokan harinya, dia sudah dikumpulkan di camp training sebelum mulai ditempatkan di pos militer untuk wamilnya tadi.
Wamil di Korea Selatan ternyata cukup berat bagi beberapa orang, sehingga beberapa tentara memutuskan untuk kabur. Istilah tentara kabur (deserted soldier) ini menjadi hal yang harus disupervisi oleh petinggi militer di Korea Selatan. Dan karena kebetulan serta ketajaman observasinya, Junho akhirnya direkrut untuk jadi tentara yang menguntit serta menangkap tentara-tentara yang kabur ini kembali ke barak. Di misi pertamanya, dia gagal karena seniornya yang juga menjadi DP (tentara yang bertugas untuk membawa balik tentara kabur) malah berpesta pora. Namun setelah itu, seniornya diganti dengan senior baru yang masih sama slengekannya tapi lebih bertanggung jawab dan lebih cerdas dalam menemukan tentara-tentara yang sudah kabur.
Yang aku suka dari DP adalah gambaran realistis kondisi di dalam barak militer, yah walaupun sebenarnya masih ada hal yang dilebih-lebihkan juga. Perkembangan karakter Ahn Jun Ho juga makin bagus, begitupun si atasannya. Ditambah lagi, bahkan di bidang militer yang namanya korupsi itu tak terelakkan. Belum lagi masalah perisakan. Hanya karena seseorang menjadi tentara, bukan berarti mereka punya hak untuk menyiksa orang lain bukan? Apalagi sampai menimbulkan trauma bagi orang lain. Ujung-ujungnya, orang yang awalnya diam saja bisa jadi orang yang paling berbahaya. Intinya, jadi orang itu sebisa mungkin berbuat baik. Jangan sampai melukai perasaan orang lain. Karena kita nggak pernah tahu sakit hati orang lain yang kita sebabkan.
Selanjutnya ada serial yang meledak dan jadi viral, aku sampe eneg dan berniat men-take out serial ini dari daftar. Squid Game merupakan series original Netflix juga. Sebelum hari rilis, aku sudah memasukkannya ke dalam daftar tonton tapi baru bisa nonton 3 hari setelah dirilis. Awalnya aku suka serial ini karena my taste banget. Yang pertama, berdarah-darah. Yang kedua, konflik kaum marjinal. Yang ketiga, plot twist. Dan yang terakhir, penokohan yang abu-abu.
Squid Game menceritakan seorang pria miskin beranak satu Kihun (Lee Jung Jae) yang uangnya habis untuk berjudi. Sampai si ibunya (nenek Gamri dari Homcha) yang sakit-sakitan lelah untuk menasihati putra semata wayangnya ini. Suatu hari, Kihun beruntung karena uang sang ibu yang dicurinya dari dapur membawanya untuk memenangkan taruhan kuda. Tapi karena satu dan lain hal, si Kihun yang punya hutang banyak pada lintah darat dan lain sebagainya malah kena sial sehingga dia kehilangan banyak uang itu. Di situlah, salesma Squid Game muncul ke dalam hidup Kihun. Lalu menyeretnya untuk bermain di sebuah game bersimbah darah, Squid Game.
Kalau misalnya serial ini nggak tiba-tiba jadi viral atau dibahas dimana-mana, atau bahkan dicap plagiat serial Jepang yang sama-sama berdarah-darahnya juga, mungkin aku akan membahasnya dengan suka hati. Karena menurutku produksi serial ini memang nggak main-main. Props, akting, sampai plotnya ikonik. Ada beberapa adegan yang sampai jadi meme saking ikoniknya. Dan ada beberapa hal yang sebenarnya bisa kita jadikan pelajaran untuk hidup di dunia ini. Sayangnya, banyak orang lebih berkonsentrasi pada permainan-permainan ikonik dalam game ini tanpa memahami betul apa sih yang berusaha disampaikan oleh sutradara dan penulis. Konon skenario serial ini sudah ditulis sejak 2008. Dan karena sudah terlalu viral, aku jadi nggak terlalu excited untuk menuliskan opiniku mengenai serial ini. Tentu saja kalian sudah bisa membaca atau menontonnya di tempat lain.
Selanjutnya ada Sex Education yang udah aku tunggu-tunggu sejak dua tahun lalu. Petualangan Otis, Maeve, Adam, dan Eric berlanjut. Di season 3 ini, kepala sekolah Groff yang diberhentikan di Season 2 digantikan oleh Bu Kepala Sekolah baru. Awalnya kukira si Ibu kepala sekolah yang baru akan lebih mendukung anak muda. Ternyata tidak saudara-saudara. Meskipun si ibu kepala sekolah ini lebih mudah dari kepala sekolah Groff ternyata beliau jauh lebih ketat. Klinik seksual Otis dan Maeve dihancurkan, siswa yang memiliki identitas non-biner ditindas. Dan pendidikan seksual makin terdegradasi ke era tahun 1990-an.
Para karakter juga memiliki dinamika yang tak terduga. Sebagai contoh Ruby ternyata jadi teman seks kasual Otis, yang gak disangka lagi adalah Ruby beneran jadi suka sama Otis. At the end of the day, she's not that bad. Lalu ada juga pertemanan Jackson dan Vivienne yang diguncang kehadiran Cal. Dinamika kegalauan Maeve antara Isaac si brengsek dan Otis. Serta Eric yang mempertanyakan seksualitas Adam. Season 3 memang lebih seru daripada season-season sebelumnya. Lebih kental bicara mengenai penerimaan diri dan perubahan yang terjadi di sekitar para karakter tapi less-sexual-scene. Dan apalah arti Sex Education tanpa klinik Otis dan Maeve bukan?
Meskipun ujung-ujungnya serial ini cukup konklusif mengenai relasi antar karakter, tapi masih berasa ada yang menggantung. Karena ujung-ujungnya serial ini memisahkan dua karakter utama yakni Otis dan Maeve yang akhirnya saling mengakui perasaan mereka. Kayak, "Ya elah baru juga jadian udah dipisahin lagi." Yang menarik, Sex Education juga makin berani mengusung tema inklusif terkait dengan seksualitas. Seperti Isaac yang disable tapi ternyata masih bisa merasakan intimacy, juga pengenalan karakter dan sudut pandang sosok dengan identitas non-binary seperti Cal. Masih akan ada banyak hal yang perlu dieksplor dari serial ini. Dan semoga season selanjutnya tidak terlalu mengecewakan. Dan saranku please segera akhiri serial ini sebelum ceritanya justru jadi melebar kemana-mana.
Yang terakhir adalah My Name, serial yang dibintangi oleh Han So Hee. Setelah jadi kwetiauw lemes di Nevertheless, akhirnya Han So Hee membalas kekecewaan penonton dalam karakter barunya yaitu Song Jiwoo. Di sini Han So Hee berperan sebagai seorang gadis muda yang tujuan hidupnya hanya membalaskan dendam kematian bapaknya. Yoon Jiwoo (Han So Hee) adalah gadis SMA yang selalu dibuntuti detektif karena bapaknya bergabung dengan gembong narkoba. Suatu hari Jiwoo sudah lelah ditinggal sang Bapak dan mengucapkan kata-kata yang akhirnya membuat sang bapak kembali pulang ke rumah. Saat si bapak pulang ke rumah, tiba-tiba ada sosok pembunuh yang menembak si bapak hingga mati. Dan dari saat itulah, Jiwoo berusaha menemukan pembunuh sang bapak dan bersumpah akan membunuh balik si pembunuh.
Sebelum memiliki kemampuan untuk membunuh, Jiwoo bergabung dengan Dongcheon yaitu perkumpulan mafia yang dikepalai oleh Choi Mujin. Di sini Jiwoo ditempa untuk menjadi wanita tangguh alias mesin pembunuh, difasilitasi oleh Mujin. Dan Mujin mengatakan pada Jiwoo bahwa si pembunuh bapaknya adalah seseorang dari kepolisian. Setelah suatu malam terjadi insiden traumatis yang menimpa Jiwoo, Jiwoo berganti identitas menjadi Oh Hye Jin dan bergabung dengan kepolisian. Harapan Jiwoo, begitu masuk ke kepolisian dia akan dapat dengan mudah menginvestigasi pembunuh sang Ayah. Tapi rupanya motif Mujin berbeda. Justru dia mendukung Jiwoo masuk ke kepolisian untuk membuatnya dapat menghindari razia satuan narkotika dan menjaga bisnis narkobanya aman sentosa dari sentuhan pihak berwajib.
Dari segi cerita, My Name bukanlah drama yang penuh kejutan. Alurnya memang cenderung mudah ditebak. Tapi perkembangan karakter Jiwoo dari anak SMA biasa hingga menjadi polisi wanita/mafia yang kuat menjadi daya tarik khusus bagi serial ini. Belum lagi twist dan kisah Choi Mujin sebagai kepala geng sekaligus gembong narkoba. Mau tidak mau, Choi Mujin yang memang kriminal ini jadi terlihat lebih manusiawi. Ternyata memang manusia itu menjadi jahat karena punya alasan. Mujin juga demikian. Ada alasan kenapa dia menjadi sosok antagonis dalam serial ini. Ada alasan kenapa Jiwoo masih kekeuh membalaskan dendam sang Ayah. Apalagi, jarang sekali ada film Noir/Kriminal dengan karakter utama wanita yang sangat memiliki determinasi untuk balas dendam kan? Jadi, buat kalian yang belum nonton please segera nonton. Dijamin nggak akan mengecewakan.
Jadi itulah serial-serial yang masih membekas dalam ingatanku, selain Hunter X Hunter yang udah nggak tayang lagi di Netflix. Rasanya senang sekali kita bisa nonton serial yang efeknya tuh bikin healing atau justru belajar dari plot yang disediakan. Dan makin ke sini, rasanya aku makin suka sama serial yang nggak terlalu mikir-mikir amat tapi justru lebih relatable ke kehidupan sehari-hari. Kalau kalian sudah nonton salah satu serial di atas, jangan lupa untuk meninggalkan komentar di bawah ya.
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)
In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)