Garden Lights
Beberapa hari terakhir, aku mulai membiasakan diri untuk kembali ke rutinitas normal. Nggak langsung 100% kembali bekerja seperti biasa sih, bergantian antara kerja dari rumah (re: kosan) dan dari kantor. Namun yang namanya penyesuaian kembali itu nggak bisa dipungkiri, rasanya aneh dan canggung. Sama seperti ketika aku harus menyesuaikan diri saat balik ke Indonesia. Aneh, asing, canggung. Meskipun kini aku berangsur-angsur kembali jadi 'orang Indonesia'.
Nggak cuma menyesuaikan diri yang aneh, aku merasa banyak hal aneh yang terjadi di dalam diriku. Antara bersyukur masih bekerja dan dapat gaji yang lumayan atau stress karena aku hampir setiap hari selalu merasa was-was. Jujur, sejak WFH atau bahkan sejak bekerja di tempatku sekarang, aku hampir selalu merasa cemas. Padahal yang aku kan ingin bahagia. Jangan ditanya, soal membahagiakan diri sendiri, aku jagonya.
Kebiasaan yang mulai dari awal, kebiasaan yang nggak 100% sama dengan sebelumnya ini membuatku bertanya-tanya: "Apakah aku sudah bahagia hari ini?", "Apa yang kucari setelah ini?", "Apa definisi kebahagiaan itu?"
Bekerja, makan, tidur, dapat uang, main di internet, nonton Netflix. Rutinitasku berkutat di situ-situ saja. Ada satu masa di mana aku sangat bahagia meski dengan hal-hal sederhana itu. Ada satu masa di mana aku mempertanyakan lagi "Apa memang ini kehidupan yang aku mau?"
Maksudku, aku tinggal di kosan yang nyaman, internet juga lancar, gaji juga lancar. Stress itu melanda ketika bosku bekerja nggak tahu waktu, hal ini membuatku sangat tidak nyaman. Berada di lingkungan yang 'memaksa' seseorang untuk patuh pada bos meski hal itu nggak masuk akal sangat tidak nyaman. Aku suka dengan pekerjaanku, aku suka dengan apa yang kulakukan, aku tidak suka dengan tempat dimana aku sekarang berada. Aku tidak suka berada di lingkungan yang toxic dan tidak menghargai hak seseorang untuk hidup. Aku dan pekerjaan adalah entitas yang terpisah. Aku akan mengusahakan terbaik untuk pekerjaan tapi tolong hormati juga privasi dan waktuku. Karena aku butuh itu. Aku nggak mau menghabiskan waktuku hanya untuk pekerjaan yang merupakan efek dari hasil kerja orang lain yang tidak memuaskan.
Jangan dikira aku tidak mengatakan apa-apa. Percuma. Aku sudah mengatakan keberatan tapi tetap saja rutinitas itu berulang-ulang. Semula aku yang merasa cemas biasa-biasa saja, jadi semakin cemas. Aku tidak merasa nyaman dalam melakukan pekerjaanku, aku ketakutan. "Bagaimana kalau nanti aku membuat kesalahan?", "Bagaimana kalau aku seterusnya seperti ini dan tidak memiliki waktu luang untuk diriku sendiri?"
Akhir pekan pun, waktu seharusnya aku memanjakan diri sendiri terasa jadi seperti neraka. Rasanya aku berlari tiada henti, terus dikejar-kejar oleh sesuatu entah apa itu. Sangat berbeda dengan rutinitasku beberapa tahun lalu. Padahal aku sedang tidak berkompetisi dengan siapapun. Padahal aku hanya ingin berjalan santai setelah menghabiskan seumur hidupku untuk berlari.
Sebenarnya apa sih yang kucari di hidup ini? Apalagi setelah ini? Aku juga nggak tahu apa.
Alasanku untuk bertahan di tempat yang saat ini, bukan karena aku tidak punya pilihan lain. Ada pilihan lain tapi tidak sekarang, aku harus bertahan dulu hingga 2-3 tahun lagi lalu pergi. Atau bertahan hingga 5 tahun lagi untuk membuat perubahan. Kenapa aku memilih tempat ini dari awal? Karena tempat ini memberikanku jaminan yang pasti. Dan aku harus melunasi hutangku ke negara kan? Bukan berarti aku tidak berusaha, hanya saja mimpiku masih terlalu jauh. Mau tidak mau, suka tidak suka aku harus bertahan. Salah satu hal yang membuatku bertahan juga karena dengan bekerja di tempat ini, perlahan-lahan aku membahagiakan diriku. Aku dan hobiku. Aku dan kebahagiaan semuku.
Hanya saja, kebahagiaan itu datang dan pergi. Kecemasan itu selalu ada di dalam diriku. Tidak pernah dalam seumur hidupku aku selalu merasa cemas dan takut seperti ini. Takut "Akan ada pekerjaan macam apa lagi yang harus diselesaikan?", takut "Akan bekerja sampai berapa lama lagi hari ini?"
Hi mba Agista,
ReplyDeleteSaya pernah merasakan kebimbangan dan perasaan serta ketakutan yang sama disaat saya seusia mba ~ dan rasa itu sedikit banyak cukup membuat saya hampir putus asa karena merasa nggak mampu menjawab setiap tanya yang berontak di otak π
Dan meski saya nggak bisa berkomentar banyak dari tulisan mba di atas, saya cuma mau bilang, akan ada timing yang tepat untuk mba akhirnya mencapai apa yang mba inginkan. Sebuah rasa nyaman dan 'aman' ~ mungkin sekarang mba merasa 'berat' karena masih dalam proses adaptasi pada sebuah ritme kehidupan (realita) baru yang sebelumnya, belum pernah dijamah sampai titik terdalam. Jadi, semangat yah mba. Semoga mba Agista bisa melaluinya dengan lapang dada, dan semoga perjuangan mba akan memberikan kebahagiaan yang nggak lagi semu serta bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya sulit untuk terjawab ππ
νλ΄μΈμ© ~ π