Bahaya Mengintai Dompet di Balik Cashback 50%
Mobile Payment in Indonesia - cr: thelowdown.momentum.asia |
Bahkan baru-baru ini aku sering sekali mendengar cerita dari teman-teman bahwa Dana sedang memberikan cashback besar-besaran. Di salah satu merchant, Yoshinoya misalnya, Dana berani memberikan cashback hingga 50% sehingga penggunanya hanya perlu menebus sebuah beef bowl yang semula berharga Rp 30-40 ribuan menjadi Rp 19 ribuan. Atau bahkan pengguna bisa mendapatkan roti gratis dari merchant yang bekerja sama dengan mereka. Tampak sangat appealing bukan? Tanpa sadar, anak-anak kos jadi berpikir "Wah saya bisa makan enak tanpa harus merogoh kantong dalam-dalam nih." Padahal sebenarnya cashback dimana-mana dan juga banyaknya aplikasi dompet digital yang merajalela justru jadi pendorong perilaku hidup konsumtif makin meningkat.
Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja diskon dan cashback sangat menggoda dong. Bahkan sejumlah penelitian seperti yang dilakukan oleh Akshay Rao dalam Journal of Marketing, menyebutkan bahwa penjualan meningkat 75% ketika terdapat diskon apalagi kalau diming-imingi embel gratis (1). Sementara itu, Bapak Behavioural Finance yakni Kahneman dan Tversky (1970) menyebutkan bahwa efek framing (dari diskon) mempengaruhi perilaku konsumen dalam memilih. Dalam hal ini, memilih untuk menghamburkan uangnya alias berperilaku konsumtif (2). Tentu saja framing ini didukung oleh bias Willingness-to-Pay dan eksploitasi sifat loss aversion yang dimiliki oleh manusia dalam Prospect Theory yang mereka cetuskan.
Pada contoh sebelumnya, sangat jelas bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk membayar lebih murah untuk sesuatu yang akan memberikannya kepuasan, dalam hal ini Yoshinoya. Siapa sih yang tidak mau mendapatkan Yoshinoya separuh harga saja? Perilaku tersebut merupakan contoh willingness-to-pay. Sementara itu, yang dimaksud oleh loss aversion adalah perasaan sakit yang muncul ketika seseorang mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit dari diharapkan tapi justru mau mengeluarkan resource lebih banyak untuk menutupi kerugian. Contohnya, kamu tidak akan memilih untuk membeli Yoshinoya seharga Rp 40.000 tapi kamu justru mau beli Yoshinoya seharga Rp 20.000 ditambah dengan Shihlin seharga Rp 20.000 yang mana sama-sama ujung-ujungnya kamu mengeluarkan jumlah yang sama.
Appealing Banner Cashback - cr: thelowdown.momentum.asia |
Memang nampaknya kamu untung karena mendapatkan dua hal yang berbeda sekaligus dengan harga satu beef bowl Yoshinoya saja. Namun apakah kamu sadar bahwa kamu justru akan melakukan hal ini terus menerus dan lebih sering daripada ketika kamu membeli hal-hal tersebut dengan harga asli?
Ya! Perilaku konsumtif ini dapat dijelaskan dengan gamblang oleh Behavioural Finance. Tambahan lagi, kadang kala kamu jadi membeli makanan dengan harga yang jauh lebih mahal daripada yang biasanya kamu makan. Contohnya, kamu bisa memilih untuk membeli Kimukatsu seharga Rp 60.000 demi mendapatkan cashback OVO maksimal Rp 30.000 itu. Tapi pada akhirnya kamu tetap membayar Rp 40.000 karena kamu lupa menghitung pajak restoran dan service charge. Kasus ini disebut Framing dan Salience dalam Behavioural Finance. Spanduk cashback besar-besaran itu memanipulasi alam bawah sadar kamu untuk membeli makanan dengan harga yang lebih mahal untuk mendapatkan diskon besar. Sementara itu, nilai diskon maksimal tidak ditampilkan (Salience) agar kamu rela merogoh uang lebih dalam untuk keuntungan yang sebenarnya lebih kecil daripada uang yang kamu keluarkan. Lagi-lagi, loss aversion.
Selain itu, framing diskon ini akan membuatmu semakin sering mengkonsumsi hal-hal yang sebenarnya tidak kamu butuhkan. Apalagi kalau intensitas berkunjung ke mal atau terpapar spanduk cashback terlalu sering. Tanpa sadar, banner-banner cashback itu akan membuatmu merasa "Ah nggak papa, kalau beli nggak akan lebih dari budget hari ini kok." Lalu tanpa sadar, kamu akan mengkonsumsi lebih banyak snack dari yang biasanya kamu konsumsi dengan frekuensi yang lebih sering. Survei membuktikan bahwa dimana ada diskon, di situ akan selalu ada pembeli (3).
cr: Housers |
Tidak ada salah atau benar dalam setiap keputusan seseorang, apalagi dalam pengelolaan finansial. Jujur aku sendiri yang juga sudah mempelajari Behavioural Finance juga masih tidak rasional alias berperilaku konsumtif juga (4). Tidak bisa dipungkiri memang diskon itu sangat menggoda tapi tidak ada salahnya juga untuk tetap berhati-hati dan mengetatkan ikat pinggang bila berkaitan dengan pengeluaran. Untuk mengurangi perilaku konsumtif, apalagi setelah hijrah ke Jakarta ini, aku memilih untuk tidak menggunakan terlalu banyak dompet digital. Aku juga berusaha untuk tidak termakan cashback dan diskon karena aku mengingatkan diriku sendiri bahwa sebenarnya cashback yang aku dapat tidak sebanyak uang yang aku keluarkan.
Terpisah-pisahnya pos pendapatan dalam bermacam dompet digital juga bisa menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumtif. Analoginya, bila dalam satu bulan kamu memisahkan uangmu ke Go-Pay, OVO, atau Dana masing-masing Rp 500.000, kamu tidak akan menyadari bahwa sebenarnya kamu akan menghabiskan uang Rp 1.500.000 itu untuk memesan GrabFood atau sekedar nyemil dan ngopi cantik dengan cashback 30%. Mengapa? Karena nilai yang terpampang di masing-masing aplikasi lebih kecil dari yang seharusnya. Bahkan dalam beberapa kasus, Rp 500.000 untuk Go-Pay dan OVO (Grab) bisa habis dalam waktu cepat karena tingginya frekuensi penggunaan jasa Go-Jek maupun Grab melalui iming-iming diskon dan voucher di aplikasi. Tanpa disadari uang senilai Rp 1.500.000 itu lenyap tak berbekas dan kamu harus top up ulang.
Akan berbeda bila kamu mengumpulkan uang di satu atau sedikit akun (pooling fund). Ketika seseorang sadar berapa banyak pengeluaran dibandingkan dengan uang yang mengendap di akun (rekening) mereka, maka mereka perlahan akan lebih bisa mengontrol pengeluaran. Cara ini surprisingly bekerja untukku. Dengan meminimilasi kepemilikan dompet digital, aku menjaga agar uangku tidak terlalu terpisah-pisah (scattered) sehingga dapat mengontrol jumlahnya sekaligus jumlah yang dikonsumsi.
Biasanya, tiap bulan aku akan mengalokasikan Rp 200-300 ribu untuk masing-masing dompet digital dan tidak mengisi ulang kecuali bila terpaksa. Lalu sebelum mengalokasikan untuk dompet digital, aku sudah mengamankan uangku di pos yang tak bisa aku utak-atik. Sehingga kondisi keuanganku cukup stabil dan aman hingga akhir bulan. Saat ini, aku memang belum sepenuhnya bisa menahan godaan diskon dan jajan. Tapi setidaknya aku tahu cara menghindari framing bias cashback 50% dan mengurangi sedikit demi sedikit perilaku konsumtif akibat tren pembayaran digital ini. Untuk tips budgeting dan saving lebih lengkap, tunggu di postinganku selanjutnya dan jangan lupa untuk selalu setia membaca blog ini.
Akhir kata, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjustifikasi bahwa perilaku konsumtif merupakan hal buruk. Bisa jadi perilaku tersebut buruk bagi konsumen tapi menguntungkan bagi retailer (dan start-up digital payment). Yang jelas, tulisan ini merupakan hasil dari gagasan untuk menguliti fenomena yang terjadi di masyarakat zaman sekarang dengan kacamata Behavioral Finance. Yah, siapa tahu kamu akan menemukan alasan di balik cashback bukan?
Terpisah-pisahnya pos pendapatan dalam bermacam dompet digital juga bisa menjadi salah satu faktor pendorong perilaku konsumtif. Analoginya, bila dalam satu bulan kamu memisahkan uangmu ke Go-Pay, OVO, atau Dana masing-masing Rp 500.000, kamu tidak akan menyadari bahwa sebenarnya kamu akan menghabiskan uang Rp 1.500.000 itu untuk memesan GrabFood atau sekedar nyemil dan ngopi cantik dengan cashback 30%. Mengapa? Karena nilai yang terpampang di masing-masing aplikasi lebih kecil dari yang seharusnya. Bahkan dalam beberapa kasus, Rp 500.000 untuk Go-Pay dan OVO (Grab) bisa habis dalam waktu cepat karena tingginya frekuensi penggunaan jasa Go-Jek maupun Grab melalui iming-iming diskon dan voucher di aplikasi. Tanpa disadari uang senilai Rp 1.500.000 itu lenyap tak berbekas dan kamu harus top up ulang.
Akan berbeda bila kamu mengumpulkan uang di satu atau sedikit akun (pooling fund). Ketika seseorang sadar berapa banyak pengeluaran dibandingkan dengan uang yang mengendap di akun (rekening) mereka, maka mereka perlahan akan lebih bisa mengontrol pengeluaran. Cara ini surprisingly bekerja untukku. Dengan meminimilasi kepemilikan dompet digital, aku menjaga agar uangku tidak terlalu terpisah-pisah (scattered) sehingga dapat mengontrol jumlahnya sekaligus jumlah yang dikonsumsi.
Biasanya, tiap bulan aku akan mengalokasikan Rp 200-300 ribu untuk masing-masing dompet digital dan tidak mengisi ulang kecuali bila terpaksa. Lalu sebelum mengalokasikan untuk dompet digital, aku sudah mengamankan uangku di pos yang tak bisa aku utak-atik. Sehingga kondisi keuanganku cukup stabil dan aman hingga akhir bulan. Saat ini, aku memang belum sepenuhnya bisa menahan godaan diskon dan jajan. Tapi setidaknya aku tahu cara menghindari framing bias cashback 50% dan mengurangi sedikit demi sedikit perilaku konsumtif akibat tren pembayaran digital ini. Untuk tips budgeting dan saving lebih lengkap, tunggu di postinganku selanjutnya dan jangan lupa untuk selalu setia membaca blog ini.
Akhir kata, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjustifikasi bahwa perilaku konsumtif merupakan hal buruk. Bisa jadi perilaku tersebut buruk bagi konsumen tapi menguntungkan bagi retailer (dan start-up digital payment). Yang jelas, tulisan ini merupakan hasil dari gagasan untuk menguliti fenomena yang terjadi di masyarakat zaman sekarang dengan kacamata Behavioral Finance. Yah, siapa tahu kamu akan menemukan alasan di balik cashback bukan?
Aku termasuk orang yang nggak termakan iming2 cashback hahaha, karena sebaik2nya mendapat cashback adalah lebih baik tidak mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Aku juga sedang meminimalisir memakai metode pembayaran digital, lebih milih cash karena sakitnya lebih kerasa jadi bisa dijadikan rem pengeluaran.
ReplyDelete