Mengingat London: Sistem Perkuliahan Master di Inggris
Mungkin kalau membaca blogku akhir-akhir ini, aku sudah jarang berbicara soal London. Namun apakah itu berarti aku sudah move on? Oh tentu belum saudara-saudara. Masih ada banyak hal yang ingin kuceritakan mengenai London termasuk sistem perkuliahan di sana (dan juga UK). Sebenarnya aku sudah pernah membahasnya di postingan ini, tapi tulisan itu aku hasilkan saat aku masih baru banget jadi mahasiswa Master di UK. Intinya, tulisan tersebut masih membahas permukaan saja. Bahasan yang akan kutuliskan di sini (insya Allah) akan lebih lengkap dan komprehensif.
Kalau di postingan sebelumnya aku lebih banyak membahas kondisi situasional dan perbedaan budaya belajar mengajar, mungkin dalam tulisan ini aku akan membahas ke sisi teknis. Tulisan ini juga akan sekaligus menjawab pertanyaan: "KaMu geLarnYa ApA?" atau "KuLiaH MasTeR kOk CuMa SetaHun?"
Jadi saudara-saudara, mohon simak penjelasannya dengan baik dan benar ya.
- Durasi studi master (S2) di UK
- Taught Programme dan Research Programme
- Credits and Compulsory/Optional Subject
- Semester break
- Exam dan Coursework
- Thesis and the Supervision
- Grade and Graduate Predicate
- Extracurricular Activities
- Facilities and Diversity
- Tuition Fee
Durasi studi master (S2) di Inggris hanya dipatok 1 tahun saja, berbeda dengan sejumlah universitas di dunia (termasuk sebagian besar Eropa, Amerika Serikat, dan juga Indonesia). Karena masa pendidikan yang hanya 1 tahun ini saja, aku juga sering sekali mendapatkan pertanyaan seperti: "Itu gelarnya apa? Diploma?". Jawabannya bukan, gelar yang didapat meski hanya 1 tahun kuliah di Inggris adalah Master. Berdasarkan ukeas.com, lama studi 1 tahun ini sudah diatur dalam perundangan-undangan UK dan mendapatkan pengakuan di seluruh dunia. Kira-kira apa sih alasan masa studi hanya 1 tahun di UK? Menurut forum Stackexchange, periode 1 tahun ini diadakan karena spesialisasi jurusan Master di UK yang sangat spesifik; tidak banyak mata kuliah tambahan (electives) yang bisa diambil; serta bisa menghemat funding. Meskipun memang tidak dipungkiri bahwa banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan 1 tahun saja tidak cukup untuk membekali mahasiswa dengan ilmu yang cukup. Tapi tenang saja, selama Universitas yang kamu pilih termasuk dalam kelompok Russel Group, masa pendidikan 1 tahun tak jadi masalah. Mau tidak mau, suka tidak suka gelar Master di UK masih terhitung reputable dan diakui di hampir seluruh belahan dunia (kecuali India). Selain UK, negara yang juga memberlakukan masa studi Master 1 tahun adalah Belanda. Perlu diingat juga, di UK masih ada kok jenjang master dengan masa studi hingga 2 tahun, rata-rata studi 2 tahun ini adalah untuk program research (MRes), program seni, serta program MBA.
Seperti yang sudah disinggung di poin sebelumnya, ada dua macam program master di UK. Yang pertama adalah taught programme yang artinya mahasiswa S2 akan menempuh perkuliahan di kelas. Lalu research programme yaitu mahasiswa akan diminta untuk lebih banyak bekerja di laboratorium serta terlibat penelitian. Kebetulan program yang kutempuh adalah model pertama, sama seperti studi S1 di Indonesia, aku lebih banyak berada di kelas dan mendengarkan kuliah. Masing-masing fakultas dan universitas memiliki standar penilaian tersendiri. Contohnya, di fakultasku (terutama jurusanku) standar penilaian dengan bobot tertinggi adalah ujian tulis (exam) baru paper (makalah). Sementara di fakultas lain ada yang menitikberatkan bobot penilaian di paper dan coursework daripada exam. Kadang, kebutuhan ini juga disesuaikan dengan dosen masing-masing. Aku bahkan pernah mendapatkan standar penilaian 100% coursework/paper. Kondisi penilaian semacam ini tersedia untuk taught programme. Berbeda dengan research programme yang metode studinya sudah seperti apprenticeship PhD alias tidak ada kelas. Sehingga pada research programme, mahasiswa diharapkan untuk mengerjakan paper serta melakukan penelitian terkait.
Kelebihan taught programme adalah distribusi ilmu dan metode pengajaran yang spesifik dan cukup berbeda dengan Indonesia. Di taught programme, dosen benar-benar memberi kuliah dan menjelaskan mata kuliah tersebut sesuai dengan waktu yang dialokasikan. Tidak seperti di Indonesia yang mana dosen justru meminta mahasiswa untuk berkelompok dan menjelaskan tiap bab. Mungkin metode seperti ini dirasa efektif untuk memaksa mahasiswa belajar. Namun di sisi lain karena yang menjelaskan adalah mahasiswa bukan sosok yang ahli di bidangnya, ilmu tidak bisa diserap secara efektif. Di Inggris, dosen benar-benar memposisikan diri sebagai pengajar dan tidak segan untuk mentransfer ilmunya banyak-banyak.
Sementara itu research programme unggul ketika mahasiswa ingin lanjut ke PhD. Di jenjang PhD (S3) nanti mahasiswa akan dituntut untuk bekerja dan melakukan penelitian mandiri. Anak-anak yang menempuh MRes ini sudah dibekali ilmu yang cukup untuk menghasilkan tulisan ilmiah berkualitas. Sebagian taught programme memang memiliki demand atau standar penulisan paper yang tinggi tapi frekuensinya tidak sesering mahasiswa research programme.
Sama seperti di Indonesia, pendidikan tingkat universitas di UK juga mengenal sistem credits (SKS). Istilah yang digunakan di Inggris adalah European Credit Transfer and Accumulation System (ECTS), standar SKS ini merupakan aturan umum yang diterapkan di Uni Eropa. Untuk Master degree dengan durasi 1 tahun (full-time), biasanya tiap jurusan mensyaratkan 120 ECTS. Bobot ECTS tersebut biasanya dibagi dalam: 4 mata kuliah wajib, 3 pilihan, dan tesis. Di jurusanku, MSc Behavioural Finance QMUL, bobot ECTS dalam satu tahun adalah 180 ECTS dengan rincian: 6 mata kuliah wajib, 3 mata kuliah pilihan, dan tesis. Bobot ECTS tesis paling besar yakni 45 ECTS, sementara 7 mata kuliah yang kuambil di Term A dan Term B berbobot masing-masing 15 ECTS. Jadi, meskipun aku mendapatkan nilai jelek (bahkan gagal) di dua mata kuliah, aku masih bisa mendapatkan Grade Point Average (GPA) bagus di akhir masa kuliah karena tertolong oleh tesis.
Di jurusanku juga, selama Term A kami diwajibkan untuk mengambil mata kuliah yang sudah dipaketkan. Sementara di semester berikutnya, kami baru bisa menempuh mata kuliah optional. Pengambilan mata kuliah (istilah Indonesianya KRS-an) dilakukan di awal periode perkuliahan, bahkan sebelum Term A dimulai. Jadi, sebelum masuk kami diminta untuk memilih mata kuliah opsional yang akan ditempuh di Term B nanti. Bagaimana kita bisa tahu mana mata kuliah yang cocok? Di periode enrollment, kami diberikan katalog berisi informasi lengkap soal subjects hingga ke metode penilaiannya sehingga kami bisa menentukan mata kuliah mana yang sekiranya nanti cocok dengan keinginan. Jika Term B sudah dimulai lalu setelah mengikuti perkuliahan kami tidak merasa cocok dengan mata kuliah opsional yang diambil, ada kebebasan untuk mengganti pilihan. Di SEF QMUL, peraturan penggantian kelas dilakukan maksimal setelah menjalani 3 minggu perkuliahan. Lebih dari 3 minggu, mahasiswa tidak diperkenankan untuk ganti kelas.
Di Indonesia, semester break biasanya berlangsung selama satu bulan hingga tiga bulan. Satu bulan untuk akhir Desember hingga awal Januari, tiga bulan untuk akhir April hingga Juli atau September berikutnya. Di Inggris, karena perkuliahan Master hanya berlangsung setahun liburnya tidak selama itu. Semester break Term A berlangsung selama 2 minggu, sementara Term B satu bulan. Pada masing-masing term, ada yang disebut sebagai Reading Week yaitu libur satu minggu di pertengahan kegiatan perkuliahan. Sesuai dengan namanya, Reading Week ini dimaksudkan bagi mahasiswa untuk belajar menjelang ujian midterm. Namun pada faktanya, sebagian mahasiswa memanfaatkan Reading Week untuk jalan-jalan. Lalu liburan Term B sengaja diberikan agak lama karena pada bulan Mei seringkali dihelat ujian akhir (exam). Di kampusku, kebetulan ujian akhir dilakukan secara tertulis (khususnya jurusanku) dengan bobot yang agak tinggi. Pada exam tersebut, mata kuliah dari Term A dan Term B diujikan bersamaan. Jadi, tidak ada exam di tiap akhir semester seperti di Indonesia. Setelah exam selesai, satu bulan berikutnya diberikan pelatihan dan sosialisasi mengenai pengerjaan tesis. Yang perlu diingat, tiap kampus memiliki regulasi yang berbeda. Ada juga sebagian kampus yang melaksanakan exam di tiap akhir semester.
Berhubung semester break yang kudapatkan cukup singkat, aku tidak menggunakannya untuk jalan-jalan ke Eropa seperti yang dilakukan teman-temanku yang lain. Saat aku menempuh Master di Inggris, aku bertekad untuk jalan-jalan ke Eropa setelah semua kewajibanku tuntas. Beberapa temanku memanfaatkan winter break untuk memulai perjalanan ke Eropa mereka. Begitupun saat semester break musim semi yang berlangsung selama satu bulan. Di semester break musim semi, aku justru memanfaatkannya dengan jalan-jalan ke sekitaran Inggris saja yakni ke Liverpool, Birmingham, dan Oxford.
Seperti yang sudah dijelaskan di poin-poin sebelumnya, ada dua macam penilaian yang diberikan oleh dosen terhadap mahasiswa. Kebetulan, sebagian besar dosen di jurusanku menitikberatkan penilaian pada exam. Hal tersebut terjadi mungkin karena konsekuensi taught programme yang kutempuh. Rata-rata dosen di jurusanku memberikan bobot 100% exam (40% midterm dan 60% final exam). Ada juga sebagian dosen yang memilih untuk membebaskanku dari exam dengan memberikan bobot 100% coursework. Sejujurnya, aku lebih berharap untuk mengerjakan coursework dan dikejar deadline seperti Mbak Ayodd atau Imanuel. Hal ini disebabkan oleh kemampuanku menulis. Aku harus mengakui bahwa ingatanku tidak terlalu detail dan aku tidak terlalu suka belajar dengan metode menghapal. Seperti yang kujelaskan dalam postingan exam, materi yang diujikan menuntut hapalan dan sedikit banyak sesuai dengan Mock Exam.
Pada penilaian coursework, mahasiswa lebih dituntut untuk berpikir kritis dan ilmiah. Sesuatu yang kuharapkan dari studi Master ini. Harapanku sebelum melanjutkan S2 adalah memiliki kemampuan untuk menulis karya ilmiah dengan sangat baik dalam bahasa Inggris. Sayangnya, hal ini tidak aku dapatkan dari QMUL. Justru aku mendapatkan tips penulisan karya ilmiah yang baik dari Mbak Ayodd karena jurusan yang ditempuhnya di UCL menuntutnya untuk selalu menulis paper sebagai ujian akhir. Sejumlah teman-temanku di kampus lain seperti King's College dan juga ICL mendapat tuntutan serupa yakni dikejar deadline paper. Pada akhirnya, nilai untuk mata kuliah yang mensyaratkan coursework yang kutempuh memang mendapatkan nilai lebih tinggi daripada mata kuliah yang mensyaratkan exam.
Bobot tesis di UK cukup tinggi, rata-rata 45 ECTS. Oleh sebab itu, pengerjaan tesis ini dilakukan di luar Term A dan Term B. Yang membuat pengerjaan tesis di UK berbeda dengan Indonesia adalah adanya deadline pengerjaan. Mau tidak mau, mahasiswa harus bisa menyelesaikan tesis dalam kurun waktu (rata-rata) tiga bulan. Lebih dari deadline beberapa jam saja akan dikenai penalti berupa pemotongan nilai. Konsekuensi paling buruk dari telatnya pengumpulan tesis adalah mengulang lagi di tahun berikutnya. Tentu saja konsekuensi ini tidak menjadi pilihan karena mahasiswa juga harus membayar kembali tuition fee yang sama besarnya dengan mengulang Master degree di tahun berikutnya.
Adapun syarat penulisan tesis biasanya dipatok sebanyak 7.000-35.000 kata, tanpa plagiasi, dan harus dikumpulkan sebelum deadline dalam bentuk unggahan dokumen ke portal yang disediakan oleh kampus. Inilah yang membedakan pengerjaan tugas akhir di Indonesia dan di Inggris, institusi pendidikan Inggris tidak mensyaratkan hardcopy. Tidak ada ujian sempro, kompre, atau sidang (disebut defense) dalam mengerjakan tesis ini berbeda dengan sejumlah universitas di Indonesia. Tesis dinilai dari segi: alur logika dan cara berpikir mahasiswa dalam bentuk struktur tulisan, kesesuaian dengan bidang yang diambil, kaidah penulisan ilmiah, originalitas ide, serta dukungan dari sejumlah penelitian terdahulu. Semakin bagus sebuah tesis tolak ukurnya adalah semakin mudah dimengerti dan merujuk pada banyak sumber.
Seperti kata Mbak Ayodd: "Lebih baik over quote daripada under quote."
Berbeda dengan penulisan tesis di US atau Indonesia, pengerjaan karya ilmiah di UK tidak lepas dari quoting articles. Setiap argumen harus didukung oleh penelitian terdahulu, tidak bisa asal bunyi kecuali hal tersebut adalah common knowledge atau diketahui semua orang. Contoh sederhana penulisan karya ilmiah di Inggris adalah postingan ini. Sementara itu, untuk struktur penulisan tesis juga standar misalnya harus mencakup: latar belakang, kajian teori, metodologi, pembahasan, dan kesimpulan. Yang membedakan dengan penulisan skripsi/tesis di Indonesia adalah format penulisannya. Sejumlah karya ilmiah di Indonesia cenderung kaku dan harus dipisahkan per bab tapi di Inggris bisa ditulis jadi satu asalkan bullet point strukturnya jelas. Contoh tesis yang kukerjakan ada di sini.
Sementara itu untuk supervisi dan penilaian tesis, sistemnya adalah sebagai berikut: masing-masing mahasiswa dialokasikan satu pembimbing untuk mendampingi pengerjaan tesis; tesis akan dinilai oleh pembimbing, satu penguji internal, dan satu penguji eksternal untuk menghindari bias penilaian. Dalam supervisi, di jurusanku ada alokasi tiga kali pertemuan antara mahasiswa dan pembimbing. Pertemuan wajib dilakukan antarmuka, kecuali dalam kondisi khusus dan harus diizinkan oleh fakultas. Setiap pertemuan biasanya tidak lama, hanya berlangsung sekitar 5 menit atau maksimal 10 menit. Jadwal pertemuan sudah disediakan di portal akademik mahasiswa sehingga mahasiswa hanya perlu memilih waktu yang tepat saja. Diskusi dalam pertemuan dengan pembimbing juga tidak terlalu mendetail karena pembimbing cenderung membebaskan mahasiswa dalam pengerjaan tesis ini.
Pada pertemuan pertama, pembimbingku bertanya judul atau topik yang akan aku tulis. Lalu beliau tidak memberi saran terlalu detil seperti data apa yang harus kuambil, metode penelitian apa yang harus kugunakan, atau topik apa yang sebaiknya aku tulis. Pembimbingku hanya akan menyarankanku untuk membaca sejumlah artikel yang dikirimkannya. Pertemuan kedua, pembimbingku hanya memintaku untuk membawa tesis yang setengah jadi. Biasanya tesis setengah jadi ini masih berupa latar belakang dan kajian teori tapi belum memasuki pengolahan data. Di situ, pembimbingku memeriksa format penulisan tesisku saja dan hanya menambahkan sumber artikel yang perlu kugunakan. Tidak ada koreksi grammar, tidak ada koreksi latar belakang, tidak terlalu banyak revisi mengenai kajian teori macam apa saja yang perlu ditambahkan. Pembimbingku selalu berkata, "Itu karya kamu, Saya tidak boleh ikut campur terlalu banyak. Jadi semua yang akan kamu tulis di situ, kamu yang memutuskan." Memang, penulisan tesis di UK merupakan tanggung jawab pribadi, diskusi mengenai metode mana yang lebih baik digunakan atau perhitungan mana yang lebih tepat merupakan hal yang tidak bisa didiskusikan oleh pembimbing. Bahkan, ada juga pembimbing di fakultasku yang justru mendorong mahasiswanya untuk membuat tesis yang sederhana dengan metode statistik sederhana pula. "Waktu kalian itu cuma sebentar, jadi pilih saja topik yang mudah, datanya mudah dicari. Jangan berpikir terlalu rumit."
Bimbingan lewat e-mail juga tidak diperkenankan, apalagi sampai mengirimkan dokumen tesis sebelum deadline. Oleh sebab itu, dalam penulisan tesis aku tidak melewati tahap proofread atau pemeriksaan menyeluruh selama bimbingan. Secara total, aku mengerjakan tesis sendiri dari gagasan dan data yang kukumpulkan sendiri. Untuk proofread, aku membutuhkan bantuan Mbak Ayodd meski sebenarnya aku baru minta tolong H-2 sebelum tesis aku kumpulkan.
Tentu saja proses penulisan tesis ini sangat berbeda dengan proses yang dialami temanku yang sedang berkuliah di Australia saat ini. Aku lihat bahwa dia bahkan berkolaborasi dengan pembimbing dalam pengerjaan tesisnya, pembimbingnya juga memeriksa grammar dari karyanya. Jauh berbeda denganku yang menulis tesis secara mandiri. Beruntung, meski pada awalnya aku sempat kebingungan dengan sistem penulisan tesis ini aku masih mendapatkan nilai yang baik. Yang membuatku lebih bangga lagi adalah karya tulisku memiliki tingkat kesamaan (plagiasi) yang sangat kecil. Sekali lagi, hal ini membuktikan bahwa aku punya bakat menulis yang sangat baik.
Dari segi poin, mungkin sistem penilaian di Inggris tidak terlalu berbeda dengan yang sering kita temui di Indonesia. Range penilaian sistem pendidikan di UK adalah 0-100, dituliskan dalam angka di transkrip. Sementara itu, di Indonesia range angkanya sama 0-100 tapi dituliskan dalam bentuk huruf dengan skala IPK 4.0 persis seperti di US. Agar lebih mudah memahami, kamu bisa simak tabel berikut ini:
Dalam tabel tersebut, nilai terbaik adalah 70-100 dengan predikat First Class Honor atau Distinction. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk mencapai angka 70 saja, perlu perjuangan mati-matian. Tidak mudah bagi mahasiswa untuk mendapatkan nilai 70 ke atas. Oleh sebab itu, temanku Aimee yang berhasil mendapatkan nilai 80 di hampir semua mata kuliah mendapatkan reward dari fakultas langsung. Bagi orang Asia, nilai 70 itu rendah. Sayangnya, kita tidak bisa menggunakan standar Asia di UK kalau tidak dibarengi dengan usaha yang sangat keras. Contohnya adalah Aimee temanku, dia hampir tidak pernah keluar dari rumah menjelang ujian dan terus belajar. Sementara aku yang menargetkan nilai 60-65 dengan predikat Second Class Honor (Upper Division) atau Merit, masih sempat untuk keluar dari rumah dan tidak belajar.
Rata-rata jenjang Master di UK tidak memperkenankan Failed alias gagal. Batas maksimal mata kuliah yang gagal adalah dua mata kuliah, disesuaikan dengan regulasi kampus masing-masing. Range nilai Failed di kampusku tidak seperti yang tertera dalam tabel di atas yakni di bawah 50. Di fakultasku sendiri, seseorang tidak akan mendapatkan gelar MSc (Master degree) bila gagal lebih dari dua mata kuliah dan nilai rata-rata dari seluruh mata kuliah yang ditempuh kurang dari 50. Sementara itu untuk predikat Merit, mahasiswa boleh gagal di satu mata kuliah tapi nilai rata-rata keseluruhan harus di atas 60. Untuk predikat terbaik yaitu Distinction, mahasiswa harus memiliki nilai rata-rata lebih dari 65 dengan nilai tesis lebih dari 60. Bisa disimpulkan bahwa nilai batas terbawah untuk lulus dari Inggris dengan gelar Master adalah 60.
Student activities di UK sangat beragam, mulai dari UKM dan organisasi tingkat kampus, tingkat kota, hingga tingkat nasional. Jenisnya juga beragam, mulai dari kegiatan rohis, perkumpulan antarnegara, olahraga, hingga hobi. Menariknya lagi, masing-masing Student Union kampus memiliki program yang disebut sebagai volunteering. Kebetulan aku merupakan salah satu mahasiswa yang lebih suka mengaktualisasikan diri dalam kegiatan volunteering daripada organisasi. Aku berpikir bahwa masa berorganisasiku telah lama lewat jadi aku memilih untuk bekerja dan bersinggungan dengan masyarakat saja tanpa harus terlibat drama organisasi.
Kampusku, menyediakan fasilitas volunteering lewat portal resmi mereka. Peluang volunteering juga bermacam-macam, dari kegiatan yang berlangsung selama beberapa bulan hingga kegiatan yang hanya berlangsung satu hari saja. Biasanya kegiatan yang berlangsung dalam waktu lama ialah pekerjaan di NGO atau Non-Profit organisation tanpa dibayar. Kegiatan yang berlangsung satu hari biasanya merupakan kegiatan sosial atau kebudayaan yang bekerjasama dengan pemerintah setempat. Aku pernah volunteering dengan mengunjungi gereja dan menyediakan tempat yang nyaman untuk para homeless. Aku juga pernah volunteer untuk Oxford Heritage yang bertugas dalam menulis ulang dokumen-dokumen lawas soal klub pria di East End, London. Kegiatan volunteer terlama dan yang paling aku sukai adalah menjadi asisten Finance Department di Cystic Fibrosis Trust. Selama volunteer di CF Trust, aku diminta untuk melakukan entri data keuangan sehari-hari, menulis cek, hingga mendapatkan online course yang disediakan oleh perusahaan. Terlebih lagi, selama di CF Trust aku juga agak dimanjakan oleh staff antara lain dapat voucher makan, dapat cokelat saat Paskah, hingga dibuatkan tea party saat volunteering week!
Students Union di kampusku juga cukup aktif dalam mengadakan kegiatan bagi para mahasiswa lho. Memang sih bukan pentas seni besar seperti yang sering dilakukan oleh BEM Universitas, mereka juga tidak terlibat dalam orientasi mahasiswa. Namun acara yang diadakan oleh Students Union ini bermanfaat bagi aktualisasi hobi dan kemampuan mahasiswa, ada Sports Day, peringatan sejumlah hari keagamaan, Boat Party, ball, hingga tur dan wisata ke sejumlah lokasi pariwisata di Inggris. Students Union di Inggris benar-benar menyalurkan aspirasi para mahasiswa. Di tiap akhir masa kepengurusan, mereka akan membagikan survey lewat newsletter soal tingkat kepuasan mahasiswa akan kinerja dan program yang mereka lakukan. Seru banget!
Fasilitas yang disediakan oleh kampus-kampus di UK tidak melulu di infrastruktur, dalam artian tidak banyak gedung baru yang dibangun atau direnovasi. Fasilitas utama yang disediakan oleh kampus (dan menurutku paling penting) adalah sumber rujukan, entah itu dalam bentuk buku fisik yang tersedia di perpustakan atau bahkan kemudahan akses jurnal dan majalah berbayar. Kampusku sendiri menyediakan banyak sekali resource ilmu pengetahuan yang bisa diakses gratis dan terbuka oleh tiap mahasiswa. Mulai dari langganan jurnal elsevier, lisensi Microsoft tanpa batas, hingga akses Bloomberg dan pelatihannya! Hebat kan?
Tentu saja fakta ini jauh berbeda dengan Universitas-Universitas di Indonesia yang lebih mementingkan pembangunan gedung daripada perluasan sumber rujukan ilmiah. Di Inggris, bangunan lama selagi tidak rusak parah masih digunakan dan dijaga betul keasliannya. Bangunan baru dibangun kalau memang dibutuhkan, bila tidak ya mereka tidak akan melakukan pembangunan itu. Selain fasilitas akademik, kampus-kampus di Inggris juga menyediakan fasilitas kesiswaan. Di kampusku contohnya, ada Multi-Faith room yang bisa difungsikan sebagai Mushola. Dosen dan staff juga sangat membantu. Birokrasi sangat mudah dan cepat. Untuk membuat surat keterangan mahasiswa misalnya, aku tidak perlu fotokopi berkas-berkas atau meminta tanda tangan dekan dan kajur. Aku hanya perlu antre di Student Enquiry centre dan menyerahkan Student ID card. Dalam 5 menit, surat keterangan mahasiswa yang berguna sebagai syarat pembuatan visa siap untuk digunakan.
Melakukan perpindahan jurusan atau mata kuliah juga sangat mudah. Mahasiswa hanya perlu mengisi form yang disediakan, memenuhi syarat mudah yang diberikan oleh fakultas, menyerahkan student ID Card, dan semua urusan kelar tidak sampai satu hari. Begitu pun saat hendak konseling, tidak ada harga yang perlu dibayar. Cukup datang ke kantor Advice and Counseling, maka mahasiswa dapat dengan bebas curhat atau mendiskusikan perihal akademik. Bahkan ada juga biro khusus yang memberikan konsultasi dan saran bagi mahasiswa mengenai job-seeking atau CV-building. Semuanya mudah diakses tanpa membedakan ras, suku, atau warna kulit. Semua orang memiliki kesempatan dan akses yang sama.
Mungkin yang menyebabkan sistem pendidikan di Inggris terlalu advanced adalah mahalnya biaya SPP (tuition fee). Saat aku masuk ke Queen Mary University of London saja, tuition fee yang disyaratkan untuk pendidikan Master 1 tahun adalah £17.000 atau setara dengan Rp340 juta. Mahalnya tuition fee yang dikenakan ini berbeda dengan jumlah yang harus dibayarkan oleh mahasiswa EU, yakni £5.000. Kabar gembiranya, aku mendapatkan beasiswa fully funded dari LPDP #terimakasihLPDP dan SPP di QMUL bisa dibayarkan dalam bentuk installment (cicilan) sebanyak dua atau tiga kali. Bila dibandingkan dengan universitas lain di London, tuition fee QMUL termasuk rendah. Di UCL misalnya, di tahun yang sama mereka mensyaratkan £21 ribu sementara KCL bisa mencapai £25 ribu. Tuition fee ini dibayarkan untuk satu tahun penuh dan pada umumnya tidak dibayar per semester, berbeda dengan praktik pembayaran uang pendidikan di Indonesia. Tuition fee sebesar itu sudah mengcover seluruh biaya, sehingga selama waktu pendidikan mahasiswa tidak dimintai biaya apapun. Mungkin juga karena tuition fee itulah aku jadi mendapatkan resource knowledge yang sangat mumpuni.
Jadi begitulah sistem pendidikan di Inggris. Mungkin terlihat harsh pada awalnya tapi ternyata sangat menyenangkan dan mendorong seseorang untuk berpikir lebih kritis dan rasional. Terus terang aku beruntung sekali mendapatkan kesempatan untuk kuliah di Inggris. Memang hanya satu tahun saja tapi selama itu aku jadi banyak belajar dari sistem pendidikan yang memudahkan mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk jadi lebih mandiri serta disiplin. Program satu tahun yang awalnya kupikir akan mudah dan santai ini pun ternyata demikian. Karena hanya satu tahun, program benar-benar padat dan mahasiswa harus dituntut untuk belajar serta berusaha lebih keras agar tidak ketinggalan. Intinya, belajar di Inggris ini telah memberiku begitu banyak ruang untuk berkembang dan meningkatkan kualitas diri jadi lebih baik. Semoga kalian juga memiliki kesempatan yang sama sepertiku nantinya! Semoga postingan ini membantu dan Cheers!
Halo kak, aku punya beberapa pertanyaan tentang study Master di UK dengan beasisiswa LPDP. Aku juga mendaftar di kampus yang menerapkan study master dengan durasi waktu satu tahun. Nah, bagaimana jika case nya adalah mahasiswa tidak bisa menyelesaikan Thesis dalam kurun waktu 3 bulan selama masa study 1 tahun tersebut, maka mahasiswa harus melanjutkan study di tahun berikut (tahun kedua), sampai thesis selesai. Apakah biaya kuliah pada tahun kedua akan di cover oleh LPDP juga? Atau LPDP hanya mengcover biaya kuliah selama 1 tahun sesuai dengan durasi normal untuk study master. Semoga kakak berkenan menjawab ya, Terima kasih.
ReplyDeleteHalo Yulita! Untuk case tersebut maka biaya di tahun selanjutnya nggak dicover LPDP. Maka dari itu hukumnya wajib bagi awardee untuk lulus tepat waktu. Soalnya di kampusku juga gitu, kalau gak selesai thesis harus ngulang tahun depannya lagi full.
Delete