Europe Trip and How I Live My Life Dangerously
Eiffel Tower |
Setelah hampir satu tahun tinggal di Inggris sebagai seorang mahasiswa, akhirnya kesempatan untuk jalan-jalan ke Eropa tercapai juga. Sebenarnya sejak semester A lalu, aku sudah diajak dan berencana untuk pergi jalan-jalan ke sekitaran Eropa Barat, hanya saja waktu dan uang selalu tidak memungkinkan. Dan setelah menuntaskan semua tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa, akhirnya ku bulatkan tekad untuk jalan-jalan ke Eropa dengan 5 negara tujuan yakni Perancis, Belgia, Belanda, Jerman, dan Spanyol. Well, meski kelihatannya senang-senang saja kenyataannya justru penuh dengan drama lho teman-teman.
Drama dimulai dengan pertengkaran rumah tangga penghuni McGrath Road nomor 20. Drama yang ini suatu saat akan aku ceritakan karena sedikit banyak drama ini turut membuatku jadi gagal fokus pada aplikasi visa sehingga menyebabkan drama-drama berikutnya.
Bagian pertama Europe Trip ini tentu dimulai di bagian keimigrasian dong. Tentu saja tanpa mengurus visa schengen, cita-cita untuk melanglang buana ke negara-negara Eropa hanya sekedar mimpi belaka. Oleh sebab itu, sebelum memulai petualangan hendaknya urusan dokumentasi keimigrasian ini harus dipikirkan secara matang. Kalau tidak matang, jadinya malah merugikan diri sendiri. Iya ini curhat dan lebih baik jangan meniru hal-hal yang aku lakukan dalam ceritaku ini.
Sebenarnya aku merupakan tipe orang yang punya rencana, begitupun dalam pengurusan visa. Dengan menentukan tanggal keberangkatan dekat-dekat dengan penyelenggaraan Music Bank di Berlin (15 September 2018) maka aku merasa bisa bernapas lega di bulan Agustus lalu. Awalnya, aku hendak ikut Mbak Ayodd untuk Europe Trip karena beliau akan pergi ke Jerman pada akhir Agustus. Berhubung aku belum punya cukup dana dan waktu tidak memungkinkan, aku jadi mengundurkan diri dari rencana tersebut. Ditambah lagi, pergi Europe Trip di akhir Agustus jadi terlalu lama buatku yang menunggu Music Bank digelar di Berlin.
Kebodohan 1: Meski tak ikut Mbak Ayodd pergi ke Jerman seharusnya aku tetap ikut dia mengurus visa schengen di bulan Agustus.
Faktanya, aku memilih untuk bersantai begitu mendapatkan appointment pengurusan visa Schengen via Perancis pada tanggal 5 September. Saat itu aku berpikir bahwa visa pasti akan keluar dalam kurun waktu 5 hari #anaknyamemangsukaberpikirpositif. Jadi, pengurusan visa schengen itu sebenarnya bisa dilakukan via negara Eropa mana saja dengan catatan negara tujuan visa schengen tersebut harus jadi negara terlama dikunjungi atau yang pertama kali dikunjungi. Karena dari awal aku sudah membulatkan tekad untuk melamar visa via Perancis maka aku menyusun itinerary dengan durasi tinggal paling lama di Perancis dan masuk pertama kali via Perancis.
Ketika Mbak Ayod sudah selesai mengurusi semua hal mengenai visa schengennya (Mbak Ayodd mengurus via Jerman) dan bahkan kelar Europe Trip, aku masih bersantai. Saat itu sudah awal September tapi aku belum menyelesaikan berkas aplikasi visaku. Yang kuselesaikan baru setengah itinerary dan berkas-berkas yang sekiranya mudah kubawa. Begitu mendekati tanggal 5 September, panik lah aku. Adapun dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk pengurusan visa schengen antara lain: student status letter dari kampus, BRP, Paspor, bank statement/LoG, itinerary, booking confirmation, dan insurance. H-1 pengurusan visa, ku belum membeli asuransi karena tidak ada uang tapi untungnya itinerary sudah selesai. Apa maksudnya itinerary selesai? Aku sudah selesai membuat rundown kepergianku dari negara tujuan awal hingga pulang lagi ke London. Lalu apakah semua berjalan lancar?
Kebodohan 2: Salah memasukkan nomor paspor dan tidak melakukan double check pada form aplikasi visa.
Ya, bukan Agista namanya kalau tidak mempersulit diri sendiri. Saat mendaftar ke TLS Contact Perancis, aku salah memasukkan nomor paspor dan kesalahannya benar-benar jauh sekali. Seharusnya nomor pasporku diawali dengan angka 2 tapi malah kuawali dengan angka 8, bagaimana? Menarik bukan? Kesalahan ini baru ketahuan ketika aku sudah sampai di TLS Contact dan mencoba masuk untuk memenuhi appointment pada tanggal 5 September itu. Awalnya aku sudah PD nih karena dokumen sudah lengkap, termasuk foto yang baru saja diambil 5 menit sebelum appointment.
*mbak-mbak nyecan pasporku*
*alisnya berkedut*
"I think you entered the wrong passport number. Can I see your appointment?"
"Well, I didn't print it. And they asked me to turn off my phone."
"Let me check once again."
*ngetik nomor pasporku*
"Yap, you entered the wrong passport number. So you have to re-register from the beginning. Sorry we're so strict about it."
"Umm, okay."
*pergi dengan lunglai, letih, lemas, lesu*
Itulah teman-teman, jangan lupa untuk double check lagi apapun itu termasuk nomor-nomor kartu identitas. Mbak Ayod sebenarnya sudah mengingatkanku untuk mengecek ulang semua dokumenku dan aku bilang sudah karena aku percaya diri, buktinya?
Kecewa namun tidak panik adalah kunci nomor satu. Setelah menghela napas panjang, kucoba untuk browsing dan akhirnya kuputuskan untuk melamar aplikasi visa via Jerman yakni via VFS. Langsung hari itu juga aku mendaftar ke VFS Jerman dan untungnya appointment untuk tanggal 6 September 2018 kosong! Langsung kuisi slot tersebut dong. Setelah booking appointment, aku pulang kembali ke Uxbridge dan mengurus semua dokumen-dokumen serta membetulkan itinerary awal.
Karena negara pembuatan visa schengen berubah, tentu saja aku butuh untuk mengedit itinerary dong. Itu artinya aku perlu menambahkan satu hari lagi di Jerman agar aplikasiku diterima yah walaupun di itinerary awal, durasi tinggal di Jerman sudah terhitung 3 hari sama dengan Perancis. Agar aman, aku mengubah durasi awal menginap di Amsterdam ke Cologne, Jerman. Itu artinya aku perlu melakukan booking penginapan lagi dan menambahkan keterangan beli overnight bus locally.
Kebodohan 3: Semua booking confirmation haruslah di-print dan tidak boleh ada keterangan bought locally. Ditambah lagi, meski kemungkinan visa diterima, mendaftar H-4 sebelum keberangkatan sangatlah tidak disarankan.
Akibat kebodohan ketiga tersebut aku harus mengundurkan tanggal keberangkatan dan melakukan booking ulang, ditambah lagi petugas VFS geleng-geleng kepala melihat itineraryku. Selama penyerahan berkas tersebut aku kerap ditanyai oleh petugas, "Where will you stay?" atau "How long will you stay?" dan itineraryku betul-betul dicek satu per satu, begitupun dokumennya.
"Where will you stay at 13 to 14?"
"I'm going to stay at Cologne."
"What about 15 to 16?"
"Berlin."
"16 to 17?"
"I'm taking overnight bus to Barcelona."
"17 to 18?"
"I'm taking overnight bus again to Marseille."
"From London to Paris?"
"Overnight bus."
"This is mad man! Your itinerary is so confusing. Have you attached the confirmation?"
"Everything's there."
"But I don't see the booking during 13 to 14."
"Well I will buy the ticket locally."
"No, You can't. You have to buy that today. And we cannot give you visa at 10 since you're applying today. Please delay your trip at 11."
"Okay."
*lalu Masnya curhat ke temannya*
"She keeps taking overnight bus man, this is mad."
"Yes, I'm mad."
"Were you making this by yourself?"
"Yes, I did," sambil melempar senyum polos.
"Well, you travelled a lot. Better be careful," kata teman Mas-Mas yang mengurusi visaku tersebut.
"Thanks."
Atas permintaan Mas-Mas tersebut, akhirnya aku (pura-pura) mengundurkan tanggal keberangkatan dengan melakukan booking bus dan merogoh kocek lagi sekitar GBP 15 untuk meminjam komputer VFS dan mencetak ulang booking confirmation. But then everything was done quite well although I doubt that my visa application will be granted. Setelah menerima komplain Mas-Masnya sekarang aku sudah bisa bernapas lega, sebab satu urusan yakni mendaftar visa telah selesai. Nah masalah berikutnya adalah berdoa apakah visa bisa keluar pada tanggal 10 September? Karena sesungguhnya aku tidak ingin merusak itinerary yang sudah kususun 'rapi'. Ya gimana kalau rusak aku rugi di tiket dan airbnb dong?!
Yang membuat hidupku makin berbahaya adalah tanggal 7 September aku pindahan rumah. Sementara itu pada tanggal 8 September aku masih bisa-bisanya main dan tidak pulang ke rumah baru. Lalu aku baru beres-beres pasca pindahan pada tanggal 9 September. Aku baru packing untuk Europe Trip pada tanggal 10 pagi. Itupun dengan harapan bahwa visaku akan jadi beneran. And believe me my friend, visa-ku beneran jadi tanggal 10 September jam 4 sore!
Apakah masalah berhenti dari situ? O tentu tidak! Hidupku terlalu menarik untuk dilewatkan. Visa sudah keluar sih memang, dapat multiple entry schengen dengan maksimal waktu stay 30 hari dan masa berlaku 3 bulan (artinya akan berlaku hingga Desember 2018 ini). Masalahnya adalah visaku baru berlaku pada tanggal 11 September 2018 sementara aku mengambil bus malam pukul 8 dari London ke Perancis pada tanggal 10 September 2018. Bagaimana? Mau mencoba? Saya sarankan untuk tidak melakukan hal yang sama ya teman-teman :)
Lagi-lagi aku berpikir positif dengan cara nekad saja tetap berangkat sesuai jadwal dengan harapan akan masuk border tepat pada jam 12 malam teng! Udah macam Cinderella aja. Faktanya, bus memasuki border sekitar pukul 10 atau 11 malam dan itu masih tanggal 10 September! Saat hendak menghadapi petugas border di Port Dover, aku deg-degan nggak karuan, pasrah. Batinku, "Kalau memang aku ditinggal bus di sini ya udah tak mengapa." Tapi ternyata bapak-bapak petugas border baik hati (padahal tampangnya sangar). Bapak-Bapak tersebut tidak bertanya apa-apa tapi hanya membolak-balik pasporku dan melihat jam di tangannya. Beberapa saat kemudian dia melengkungkan bibirnya dan memberikan stempel di pasporku! Mungkin keberuntungan tanggal 10 September 2018 itu adalah sekumpulan keberuntunganku yang sempat hilang karena kebodohanku sendiri di minggu-minggu sebelumnya.
Conclusions sebelum keberangkatan: Agista sehat, selamat, sentausa! Begitu sudah mendapatkan stempel rasanya segala kekhawatiran soal visa yang nggak jadi atau nggak bisa masuk ke Perancis sebelum tanggal visa berlaku sirna sudah.
Europe Trip sendiri resmi dimulai ketika aku tiba di Perancis keesokan paginya, begitu sampai di Stasiun Gallieni Perancis, ku langsung cuss ke toilet dan kebetulan toilet di stasiun tersebut menyediakan shower. Langsung lah aku cuss mandi dengan membayar biaya 5 Euro. Usai mandi dan fresh aku langsung browsing tempat untuk meletakkan carrierku yang berat ini. Lagipula masokis amat kalau kemana-mana manggul carrier di punggung dan backpack di depan, udah macam kura-kura ninja aja. Jadi aku menemukan City-Locker yakni aplikasi untuk menitipkan luggage atau barang bawaan apapun selagi kita belanja. Sayangnya aplikasi City Locker ini hanya tersedia di Paris, di kota lain seperti Lille aku harus menggunakan provider lain yakni Nannybag. Keberadaan penyewaan locker semacam ini sangat membantu backpacker dan bagi kalian anak muda yang tinggal di daerah pariwisata mungkin bisa banget nge-deploy ide bisnis serupa karena setahuku memang belum ada di Indonesia dan belum common aja (yah mungkin karena harga hotel di Indonesia juga lebih terjangkau atau destinasi wisata di Indonesia masih bisa ditempuh dengan motor atau mobil sewaan).
Aku sampai di Paris pukul 6 pagi waktu setempat, mandi, lalu mencari-cari City Locker hingga pukul 8 pagi. Usai menitipkan 'beban hidup' itu, aku langsung menuju destinasi pertama yakni menara Eiffel. Dan kebetulan jarak antar satu landmark dengan landmark lain tidak terlalu jauh. Apalagi setelah hidup di London, naik subway jadi jauh lebih mudah bagiku. Bila dibandingkan dengan London, subway di Paris ataupun Brussels lebih mudah dimengerti daripada subway London bagi pemula. Dan menariknya lagi, underground train Paris punya double deck dong! Lalu kereta undergroundnya lebih mirip bentukan tram daripada kereta underground (tube) di London.
Ketika sampai di Eiffel, aku beruntung tidak menemukan hal-hal mengerikan. Sebab banyak cerita dari teman-temanku bahwa Perancis bukan negara yang cukup aman untuk dikunjungi, banyak copet kata mereka. Dan beruntung syukur alhamdulillah aku tidak bertemu dengan orang-orang yang bermaksud jahat tersebut dan semoga aku selalu berada di lindungan Allah untuk masalah ini. Jujur aku menikmati sekali berkunjung ke Eiffel karena memang bangunannya semegah itu dan ada ukiran nama-nama seniman seperti Rembrandt di badan menara yang diarsiteki oleh Gustav Eiffel ini. Sayangnya saat ada antrean untuk naik ke atas aku memilih untuk tidak melakukannya. Karena apa? Karena aku adalah sobat kismin.
Setelah itu, aku memutuskan untuk berjalan menuju sebuah palace yang berada di dekat Eiffel dan tamannya. Sayangnya palace tersebut sedang dikonstruksi, lalu aku berganti tujuan dengan mengunjungi Champs Elysses. Di sinilah kebodohan selanjutnya dimulai.
Kebodohan 4: Salah menganggap Arc de Triomphe sebagai Champs Elysses.
Akibat kebodohan nomor empat tersebut, aku harus berjalan jauh dan berputar-putar, sempat tersesat lagi. Yang ada di pikiranku adalah Arc de Triomphe tapi aku malah pergi mengunjungi sederetan toko jenama fashion ternama seperti Eli Saab, Givenchy, Fendi, Gucci, Louis Vuitton, Balenciaga, intinya jenama yang sobat kismin gak bakal mampu beli. Setelah berjalan ada kali satu jam, ku tidak kunjung menemukan Arc De Triomphe dan sempat frustasi. Barulah setelah menghirup bau-bau pesing sepanjang perjalanan, dan sampai di bunderan Champs Elysses aku tersadar bahwa yang kucari adalah Arc De Triomphe. Oke Gista, bye!
Setelah menghabiskan sebagian besar waktu dengan jalan-jalan gak jelas ke tujuan (yang fiktif) akhirnya sampailah aku ke Arc De Triomphe yang asli. Padahal hanya butuh naik Metro dengan 6 stop saja tapi aku malah memilih untuk berputar-putar dalam kondisi lelah dan dehidrasi maksimal di jalanan Paris yang pesing. Begitu sampai di Arc de Triomphe aku langsung nuris dong, jepret sana dan jepret sini lalu masuk ke terowongan bawah tanah replika Simpang Lima Gumul Kediri tersebut. Rupanya untuk berada di tengah-tengah Arc de Triomphe perlu antre panjang dan bayar tiket. Lagi-lagi karena aku sobat kismin, aku skip. Tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk lanjut ke destinasi selanjutnya yakni Museum Louvre.
Kalau saja aku tak salah mengira dan tak berputar-putar bagai orang bodoh, aku pasti masih bisa mengejar waktu ke Sacre Cour dan juga Versailles Palace atau bahkan stadion Paris Saint Germain, sayangnya Agista stupid af! Tapi tak mengapa, pada akhirnya sampai juga aku di Musee du Louvre. Itu museum yang muncul di film The Da Vinci Code dan Edge of Tomorrow. Kalau bukan karena The Da Vinci Code mah ku gak bakal kenal Museum Louvre. Sayangnya lagi, aku tidak tahu (lebih tepatnya lupa) kalau under 26 bisa masuk Museum Louvre secara gratis! Kalau aku ingat, sudah pasti aku masuk ke dalam museum segitiga transparan tersebut.
Kebodohan 5: Film polaroid Arc de Triomphe terbang di Louvre saat aku sedang berfoto-foto.
Akibat kebodohan nomor 5 ini, aku harus kembali lagi ke Arc de Triomphe sebelum melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya yakni Notre Dame. Sepanjang perjalanan menuju Notre Dame pun aku sempat menemukan sebuah bangunan dengan desain yang cantik dan di dekat bangunan tersebut, aku menemukan satu-satunya keran yang mengucurkan drinkable tap water. Nikmat manalagi yang kudustakan? Tanpa mengetahui keberadaan keran tersebut (dengan kondisi tumblr kosong melompong), aku beli spring water dong seharga 2,5 Euro. Aku langsung menyesali keputusanku membeli spring water tersebut.
Lalu sampailah aku di Notre Dame, gereja dengan 422 tangga di dalam. Aku sih nggak masuk ke dalam gereja tersebut karena belum booking tiket. Jadi ku hanya foto-foto di bagian depannya saja dan melanjutkan perjalanan ke Palace of Justice di Cite. Dan lagi, karena kebodohan-kebodohan yang kulakukan tersebut harusnya aku yang bisa pergi ke sejumlah tempat lagi jadi tidak bisa karena keterbatasan waktu. Pasalnya pukul 8 malam aku harus berangkat menuju Lille dengan naik bus, jadi paling tidak pukul 7 sore aku harus sudah stand by lagi di Stasiun Gallieni, Paris.
Jalan-jalan hingga ke Palace of Justice selesai pukul 5 sore dan itu artinya aku sebenarnya masih punya waktu dua jam. Sempat terpikir untuk berkunjung ke Sacre Coeur, mengingat aku harus mengambil carrier dulu dan makan 'proper' rasanya tidak ada waktu. Ku sampai di City Locker untuk mengambil kembali carrier pukul 6 sore, hendak mencari makan di sekitar situ tapi semua restoran tutup. Aku sampai heran. Sebab pagi hari aku sempat mengincar beberapa resto asia di sekitaran City Locker tersebut, sayangnya ketika aku masuk si petugas bilang kalau toko mereka sudah tutup :(
Akhirnya aku berjalan jauh lagi untuk mengulur waktu dan mencari restoran yang buka di sekitaran City Locker, lalu aku menemukan restoran pizza. Setelah 'mengisi bensin' itu, aku memutuskan untuk kembali ke Gallieni dan menunggu bus. Lebih baik aku yang menunggu bus daripada aku yang ditinggal kan?
Kebodohan 6: Tidak mengecek dari awal jarak dari stasiun Lille ke rumah host Airbnb.
Lagi-lagi karena aku sobat kismin, aku hanya mampu menginap di airbnb. Dan siapa yang sangka kalau rumah host airbnbku ini agak jauh dari stasiun, butuh sekitar 20 menit jalan. Tambahan lagi, aku baru sampai Lille pukul 10 malam! Itu artinya aku baru sampai di rumah host sekitar pukul 11 malam dong. Serius sih, perjalanan dari Gare du Lille Europe ke rumah host ini agak bikin aku deg-degan. Pasalnya aku harus berjalan malam-malam di kawasan yang sepi dan sendirian. Di situ aku merutuki diri sendiri, "Mengapa aku suka sekali mempersulit diri sendiri?".
Meski ujung-ujungnya selamat, sayangnya host airbnbku tidak bisa ditelepon. Tiap kali aku mencoba untuk telepon selalu terhubung ke mailbox. Begitu sampai depan rumahnya, aku tidak melihat tanda-tanda kehidupan. Di situ aku mulai merasa bahwa, "Oke kalau misal malam ini aku ditipu oleh host dan menggembel, akan kuterima nasibku."
Aku berdiri cukup lama di depan rumah host tersebut dan mencoba menghubunginya baik lewat aplikasi airbnb atau telepon. Hingga ada seorang Mas-Mas yang keluar dari Isabella Residence tersebut dan bertanya padaku apakah aku baik-baik saja? Rupanya French-man sama baiknya dengan British Gentlemen dong. Bahkan Mas-Mas itu menawarkanku untuk menelepon si host dan juga menawarkan ruangannya untuk kupakai kalau memang benar host airbnbku mengabaikan aku.
Beruntung setelah berdiri sekitar setengah jam, akhirnya host airbnb ngeh dan turun membukakan pintunya. Mission unlocked, ku tidak jadi menggembel di Lille.
Saking lelahnya berjalan lebih dari 25 ribu langkah di hari pertama Europe Trip, aku memutuskan untuk keluar dari rumah (airbnb) agak siangan. Rencana yang semula berangkat jam 9 pagi mundur jadi berangkat jam 11 siang. Itupun aku (lagi-lagi) harus menitipkan carrier lagi di Nannybag. Beruntungnya landmark di Lille tidak terlalu jauh satu sama lain. Sehingga aku tak butuh waktu lama untuk mengunjungi Porte de Paris, Palais Des Aux Beaux, Place du Theatre, dan lain-lain. Memang waktuku tidak banyak karena jam 3 sore aku harus langsung cuss ke Brussels.
Beruntungnya 4 jam tersebut bisa kumanfaatkan semaksimal mungkin, bahkan aku sempat menemukan restoran Jepang yang nikmat di sekitaran Garde Lille Flanders. Dan aku bisa sampai di stasiun Garde Lille Europe tepat waktu. Sayangnya, lagi-lagi kesialan menimpaku padahal aku sudah berusaha untuk tepat waktu dan tidak jadi anak ceroboh.
Kebodohan 7: Hampir ketinggalan bus (sebenarnya tidak, busnya aja yang delay).
Jadi ceritanya aku sudah berada di stasiun bus nih. Aku hendak menumpang Flixbus dengan jurusan Brussels pukul 3 sore. Total sudah ada tiga buah Flixbus yang parkir di stasiun tersebut dan aku tanyai satu per satu apakah mereka menuju ke Brussels? Ketiga supirnya menjawab tidak. Anehnya, bus terakhir berangkat pukul 3 sore tepat sama seperti di jadwal. Dan aku ingat sekali Mbak Ayodd mengatakan bahwa Flixbus tepat waktu banget. Di situ mulai muncul anxiety.
"Apakah bus yang barusan ini merupakan bus ke Brussels?" tapi aku ingat betul bahwa sang supir bilang tidak dan jurusan di bagian depan busnya tidak mengatakan ke Brussels. Setelah lapor ke Mbak Ayodd dan bertanya-tanya pada orang, aku mulai pasrah, "Bagaimana kalau aku benar-benar ditinggal pergi oleh bus tadi?"
Agar tidak jadi orang dungu lagi, aku membuat keputusan cepat dengan cara memesan bus langsung ke Antwerp dong. Untung ada voucher Flixbus akibat bookingan ke Cologne yang kugagalkan kemarin. Dan ternyata... setengah jam berikutnya Flixbus jurusan Brussels beneran datang dong. Like what??? Bahkan di apps, dia bilang on time. Faktanya, kedatangan bus ini bikin orang deg-degan setengah mampus.
Akibat delaynya bus ke Brussels ini, akhirnya aku harus mengurangi waktu jalan-jalan di Brussels juga dong. Awalnya aku mengalokasikan empat jam untuk berkeliling Brussels. Karena 'musibah' ini maka aku hanya punya waktu dua jam untuk mengunjungi Brussels. Itu mah namanya transit doang bukan travelling ke Brussels. Dan akhirnya ku hanya mengunjungi Grand Palace saja serta makan waffle.
Important Notice: This will be a very long post, please be patient to read it or simply skip it.
Bagian pertama Europe Trip ini tentu dimulai di bagian keimigrasian dong. Tentu saja tanpa mengurus visa schengen, cita-cita untuk melanglang buana ke negara-negara Eropa hanya sekedar mimpi belaka. Oleh sebab itu, sebelum memulai petualangan hendaknya urusan dokumentasi keimigrasian ini harus dipikirkan secara matang. Kalau tidak matang, jadinya malah merugikan diri sendiri. Iya ini curhat dan lebih baik jangan meniru hal-hal yang aku lakukan dalam ceritaku ini.
Sebenarnya aku merupakan tipe orang yang punya rencana, begitupun dalam pengurusan visa. Dengan menentukan tanggal keberangkatan dekat-dekat dengan penyelenggaraan Music Bank di Berlin (15 September 2018) maka aku merasa bisa bernapas lega di bulan Agustus lalu. Awalnya, aku hendak ikut Mbak Ayodd untuk Europe Trip karena beliau akan pergi ke Jerman pada akhir Agustus. Berhubung aku belum punya cukup dana dan waktu tidak memungkinkan, aku jadi mengundurkan diri dari rencana tersebut. Ditambah lagi, pergi Europe Trip di akhir Agustus jadi terlalu lama buatku yang menunggu Music Bank digelar di Berlin.
Kebodohan 1: Meski tak ikut Mbak Ayodd pergi ke Jerman seharusnya aku tetap ikut dia mengurus visa schengen di bulan Agustus.
Faktanya, aku memilih untuk bersantai begitu mendapatkan appointment pengurusan visa Schengen via Perancis pada tanggal 5 September. Saat itu aku berpikir bahwa visa pasti akan keluar dalam kurun waktu 5 hari #anaknyamemangsukaberpikirpositif. Jadi, pengurusan visa schengen itu sebenarnya bisa dilakukan via negara Eropa mana saja dengan catatan negara tujuan visa schengen tersebut harus jadi negara terlama dikunjungi atau yang pertama kali dikunjungi. Karena dari awal aku sudah membulatkan tekad untuk melamar visa via Perancis maka aku menyusun itinerary dengan durasi tinggal paling lama di Perancis dan masuk pertama kali via Perancis.
Ketika Mbak Ayod sudah selesai mengurusi semua hal mengenai visa schengennya (Mbak Ayodd mengurus via Jerman) dan bahkan kelar Europe Trip, aku masih bersantai. Saat itu sudah awal September tapi aku belum menyelesaikan berkas aplikasi visaku. Yang kuselesaikan baru setengah itinerary dan berkas-berkas yang sekiranya mudah kubawa. Begitu mendekati tanggal 5 September, panik lah aku. Adapun dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk pengurusan visa schengen antara lain: student status letter dari kampus, BRP, Paspor, bank statement/LoG, itinerary, booking confirmation, dan insurance. H-1 pengurusan visa, ku belum membeli asuransi karena tidak ada uang tapi untungnya itinerary sudah selesai. Apa maksudnya itinerary selesai? Aku sudah selesai membuat rundown kepergianku dari negara tujuan awal hingga pulang lagi ke London. Lalu apakah semua berjalan lancar?
Kebodohan 2: Salah memasukkan nomor paspor dan tidak melakukan double check pada form aplikasi visa.
Ya, bukan Agista namanya kalau tidak mempersulit diri sendiri. Saat mendaftar ke TLS Contact Perancis, aku salah memasukkan nomor paspor dan kesalahannya benar-benar jauh sekali. Seharusnya nomor pasporku diawali dengan angka 2 tapi malah kuawali dengan angka 8, bagaimana? Menarik bukan? Kesalahan ini baru ketahuan ketika aku sudah sampai di TLS Contact dan mencoba masuk untuk memenuhi appointment pada tanggal 5 September itu. Awalnya aku sudah PD nih karena dokumen sudah lengkap, termasuk foto yang baru saja diambil 5 menit sebelum appointment.
*mbak-mbak nyecan pasporku*
*alisnya berkedut*
"I think you entered the wrong passport number. Can I see your appointment?"
"Well, I didn't print it. And they asked me to turn off my phone."
"Let me check once again."
*ngetik nomor pasporku*
"Yap, you entered the wrong passport number. So you have to re-register from the beginning. Sorry we're so strict about it."
"Umm, okay."
*pergi dengan lunglai, letih, lemas, lesu*
Itulah teman-teman, jangan lupa untuk double check lagi apapun itu termasuk nomor-nomor kartu identitas. Mbak Ayod sebenarnya sudah mengingatkanku untuk mengecek ulang semua dokumenku dan aku bilang sudah karena aku percaya diri, buktinya?
Kecewa namun tidak panik adalah kunci nomor satu. Setelah menghela napas panjang, kucoba untuk browsing dan akhirnya kuputuskan untuk melamar aplikasi visa via Jerman yakni via VFS. Langsung hari itu juga aku mendaftar ke VFS Jerman dan untungnya appointment untuk tanggal 6 September 2018 kosong! Langsung kuisi slot tersebut dong. Setelah booking appointment, aku pulang kembali ke Uxbridge dan mengurus semua dokumen-dokumen serta membetulkan itinerary awal.
Karena negara pembuatan visa schengen berubah, tentu saja aku butuh untuk mengedit itinerary dong. Itu artinya aku perlu menambahkan satu hari lagi di Jerman agar aplikasiku diterima yah walaupun di itinerary awal, durasi tinggal di Jerman sudah terhitung 3 hari sama dengan Perancis. Agar aman, aku mengubah durasi awal menginap di Amsterdam ke Cologne, Jerman. Itu artinya aku perlu melakukan booking penginapan lagi dan menambahkan keterangan beli overnight bus locally.
Kebodohan 3: Semua booking confirmation haruslah di-print dan tidak boleh ada keterangan bought locally. Ditambah lagi, meski kemungkinan visa diterima, mendaftar H-4 sebelum keberangkatan sangatlah tidak disarankan.
Akibat kebodohan ketiga tersebut aku harus mengundurkan tanggal keberangkatan dan melakukan booking ulang, ditambah lagi petugas VFS geleng-geleng kepala melihat itineraryku. Selama penyerahan berkas tersebut aku kerap ditanyai oleh petugas, "Where will you stay?" atau "How long will you stay?" dan itineraryku betul-betul dicek satu per satu, begitupun dokumennya.
"Where will you stay at 13 to 14?"
"I'm going to stay at Cologne."
"What about 15 to 16?"
"Berlin."
"16 to 17?"
"I'm taking overnight bus to Barcelona."
"17 to 18?"
"I'm taking overnight bus again to Marseille."
"From London to Paris?"
"Overnight bus."
"This is mad man! Your itinerary is so confusing. Have you attached the confirmation?"
"Everything's there."
"But I don't see the booking during 13 to 14."
"Well I will buy the ticket locally."
"No, You can't. You have to buy that today. And we cannot give you visa at 10 since you're applying today. Please delay your trip at 11."
"Okay."
*lalu Masnya curhat ke temannya*
"She keeps taking overnight bus man, this is mad."
"Yes, I'm mad."
"Were you making this by yourself?"
"Yes, I did," sambil melempar senyum polos.
"Well, you travelled a lot. Better be careful," kata teman Mas-Mas yang mengurusi visaku tersebut.
"Thanks."
Atas permintaan Mas-Mas tersebut, akhirnya aku (pura-pura) mengundurkan tanggal keberangkatan dengan melakukan booking bus dan merogoh kocek lagi sekitar GBP 15 untuk meminjam komputer VFS dan mencetak ulang booking confirmation. But then everything was done quite well although I doubt that my visa application will be granted. Setelah menerima komplain Mas-Masnya sekarang aku sudah bisa bernapas lega, sebab satu urusan yakni mendaftar visa telah selesai. Nah masalah berikutnya adalah berdoa apakah visa bisa keluar pada tanggal 10 September? Karena sesungguhnya aku tidak ingin merusak itinerary yang sudah kususun 'rapi'. Ya gimana kalau rusak aku rugi di tiket dan airbnb dong?!
Yang membuat hidupku makin berbahaya adalah tanggal 7 September aku pindahan rumah. Sementara itu pada tanggal 8 September aku masih bisa-bisanya main dan tidak pulang ke rumah baru. Lalu aku baru beres-beres pasca pindahan pada tanggal 9 September. Aku baru packing untuk Europe Trip pada tanggal 10 pagi. Itupun dengan harapan bahwa visaku akan jadi beneran. And believe me my friend, visa-ku beneran jadi tanggal 10 September jam 4 sore!
Apakah masalah berhenti dari situ? O tentu tidak! Hidupku terlalu menarik untuk dilewatkan. Visa sudah keluar sih memang, dapat multiple entry schengen dengan maksimal waktu stay 30 hari dan masa berlaku 3 bulan (artinya akan berlaku hingga Desember 2018 ini). Masalahnya adalah visaku baru berlaku pada tanggal 11 September 2018 sementara aku mengambil bus malam pukul 8 dari London ke Perancis pada tanggal 10 September 2018. Bagaimana? Mau mencoba? Saya sarankan untuk tidak melakukan hal yang sama ya teman-teman :)
Lagi-lagi aku berpikir positif dengan cara nekad saja tetap berangkat sesuai jadwal dengan harapan akan masuk border tepat pada jam 12 malam teng! Udah macam Cinderella aja. Faktanya, bus memasuki border sekitar pukul 10 atau 11 malam dan itu masih tanggal 10 September! Saat hendak menghadapi petugas border di Port Dover, aku deg-degan nggak karuan, pasrah. Batinku, "Kalau memang aku ditinggal bus di sini ya udah tak mengapa." Tapi ternyata bapak-bapak petugas border baik hati (padahal tampangnya sangar). Bapak-Bapak tersebut tidak bertanya apa-apa tapi hanya membolak-balik pasporku dan melihat jam di tangannya. Beberapa saat kemudian dia melengkungkan bibirnya dan memberikan stempel di pasporku! Mungkin keberuntungan tanggal 10 September 2018 itu adalah sekumpulan keberuntunganku yang sempat hilang karena kebodohanku sendiri di minggu-minggu sebelumnya.
Conclusions sebelum keberangkatan: Agista sehat, selamat, sentausa! Begitu sudah mendapatkan stempel rasanya segala kekhawatiran soal visa yang nggak jadi atau nggak bisa masuk ke Perancis sebelum tanggal visa berlaku sirna sudah.
Musee du Louvre |
Europe Trip sendiri resmi dimulai ketika aku tiba di Perancis keesokan paginya, begitu sampai di Stasiun Gallieni Perancis, ku langsung cuss ke toilet dan kebetulan toilet di stasiun tersebut menyediakan shower. Langsung lah aku cuss mandi dengan membayar biaya 5 Euro. Usai mandi dan fresh aku langsung browsing tempat untuk meletakkan carrierku yang berat ini. Lagipula masokis amat kalau kemana-mana manggul carrier di punggung dan backpack di depan, udah macam kura-kura ninja aja. Jadi aku menemukan City-Locker yakni aplikasi untuk menitipkan luggage atau barang bawaan apapun selagi kita belanja. Sayangnya aplikasi City Locker ini hanya tersedia di Paris, di kota lain seperti Lille aku harus menggunakan provider lain yakni Nannybag. Keberadaan penyewaan locker semacam ini sangat membantu backpacker dan bagi kalian anak muda yang tinggal di daerah pariwisata mungkin bisa banget nge-deploy ide bisnis serupa karena setahuku memang belum ada di Indonesia dan belum common aja (yah mungkin karena harga hotel di Indonesia juga lebih terjangkau atau destinasi wisata di Indonesia masih bisa ditempuh dengan motor atau mobil sewaan).
Aku sampai di Paris pukul 6 pagi waktu setempat, mandi, lalu mencari-cari City Locker hingga pukul 8 pagi. Usai menitipkan 'beban hidup' itu, aku langsung menuju destinasi pertama yakni menara Eiffel. Dan kebetulan jarak antar satu landmark dengan landmark lain tidak terlalu jauh. Apalagi setelah hidup di London, naik subway jadi jauh lebih mudah bagiku. Bila dibandingkan dengan London, subway di Paris ataupun Brussels lebih mudah dimengerti daripada subway London bagi pemula. Dan menariknya lagi, underground train Paris punya double deck dong! Lalu kereta undergroundnya lebih mirip bentukan tram daripada kereta underground (tube) di London.
Ketika sampai di Eiffel, aku beruntung tidak menemukan hal-hal mengerikan. Sebab banyak cerita dari teman-temanku bahwa Perancis bukan negara yang cukup aman untuk dikunjungi, banyak copet kata mereka. Dan beruntung syukur alhamdulillah aku tidak bertemu dengan orang-orang yang bermaksud jahat tersebut dan semoga aku selalu berada di lindungan Allah untuk masalah ini. Jujur aku menikmati sekali berkunjung ke Eiffel karena memang bangunannya semegah itu dan ada ukiran nama-nama seniman seperti Rembrandt di badan menara yang diarsiteki oleh Gustav Eiffel ini. Sayangnya saat ada antrean untuk naik ke atas aku memilih untuk tidak melakukannya. Karena apa? Karena aku adalah sobat kismin.
Setelah itu, aku memutuskan untuk berjalan menuju sebuah palace yang berada di dekat Eiffel dan tamannya. Sayangnya palace tersebut sedang dikonstruksi, lalu aku berganti tujuan dengan mengunjungi Champs Elysses. Di sinilah kebodohan selanjutnya dimulai.
Kebodohan 4: Salah menganggap Arc de Triomphe sebagai Champs Elysses.
Akibat kebodohan nomor empat tersebut, aku harus berjalan jauh dan berputar-putar, sempat tersesat lagi. Yang ada di pikiranku adalah Arc de Triomphe tapi aku malah pergi mengunjungi sederetan toko jenama fashion ternama seperti Eli Saab, Givenchy, Fendi, Gucci, Louis Vuitton, Balenciaga, intinya jenama yang sobat kismin gak bakal mampu beli. Setelah berjalan ada kali satu jam, ku tidak kunjung menemukan Arc De Triomphe dan sempat frustasi. Barulah setelah menghirup bau-bau pesing sepanjang perjalanan, dan sampai di bunderan Champs Elysses aku tersadar bahwa yang kucari adalah Arc De Triomphe. Oke Gista, bye!
Setelah menghabiskan sebagian besar waktu dengan jalan-jalan gak jelas ke tujuan (yang fiktif) akhirnya sampailah aku ke Arc De Triomphe yang asli. Padahal hanya butuh naik Metro dengan 6 stop saja tapi aku malah memilih untuk berputar-putar dalam kondisi lelah dan dehidrasi maksimal di jalanan Paris yang pesing. Begitu sampai di Arc de Triomphe aku langsung nuris dong, jepret sana dan jepret sini lalu masuk ke terowongan bawah tanah replika Simpang Lima Gumul Kediri tersebut. Rupanya untuk berada di tengah-tengah Arc de Triomphe perlu antre panjang dan bayar tiket. Lagi-lagi karena aku sobat kismin, aku skip. Tanpa pikir panjang aku memutuskan untuk lanjut ke destinasi selanjutnya yakni Museum Louvre.
Kalau saja aku tak salah mengira dan tak berputar-putar bagai orang bodoh, aku pasti masih bisa mengejar waktu ke Sacre Cour dan juga Versailles Palace atau bahkan stadion Paris Saint Germain, sayangnya Agista stupid af! Tapi tak mengapa, pada akhirnya sampai juga aku di Musee du Louvre. Itu museum yang muncul di film The Da Vinci Code dan Edge of Tomorrow. Kalau bukan karena The Da Vinci Code mah ku gak bakal kenal Museum Louvre. Sayangnya lagi, aku tidak tahu (lebih tepatnya lupa) kalau under 26 bisa masuk Museum Louvre secara gratis! Kalau aku ingat, sudah pasti aku masuk ke dalam museum segitiga transparan tersebut.
Kebodohan 5: Film polaroid Arc de Triomphe terbang di Louvre saat aku sedang berfoto-foto.
Akibat kebodohan nomor 5 ini, aku harus kembali lagi ke Arc de Triomphe sebelum melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya yakni Notre Dame. Sepanjang perjalanan menuju Notre Dame pun aku sempat menemukan sebuah bangunan dengan desain yang cantik dan di dekat bangunan tersebut, aku menemukan satu-satunya keran yang mengucurkan drinkable tap water. Nikmat manalagi yang kudustakan? Tanpa mengetahui keberadaan keran tersebut (dengan kondisi tumblr kosong melompong), aku beli spring water dong seharga 2,5 Euro. Aku langsung menyesali keputusanku membeli spring water tersebut.
Notre Dame Cathedral |
Lalu sampailah aku di Notre Dame, gereja dengan 422 tangga di dalam. Aku sih nggak masuk ke dalam gereja tersebut karena belum booking tiket. Jadi ku hanya foto-foto di bagian depannya saja dan melanjutkan perjalanan ke Palace of Justice di Cite. Dan lagi, karena kebodohan-kebodohan yang kulakukan tersebut harusnya aku yang bisa pergi ke sejumlah tempat lagi jadi tidak bisa karena keterbatasan waktu. Pasalnya pukul 8 malam aku harus berangkat menuju Lille dengan naik bus, jadi paling tidak pukul 7 sore aku harus sudah stand by lagi di Stasiun Gallieni, Paris.
Jalan-jalan hingga ke Palace of Justice selesai pukul 5 sore dan itu artinya aku sebenarnya masih punya waktu dua jam. Sempat terpikir untuk berkunjung ke Sacre Coeur, mengingat aku harus mengambil carrier dulu dan makan 'proper' rasanya tidak ada waktu. Ku sampai di City Locker untuk mengambil kembali carrier pukul 6 sore, hendak mencari makan di sekitar situ tapi semua restoran tutup. Aku sampai heran. Sebab pagi hari aku sempat mengincar beberapa resto asia di sekitaran City Locker tersebut, sayangnya ketika aku masuk si petugas bilang kalau toko mereka sudah tutup :(
Akhirnya aku berjalan jauh lagi untuk mengulur waktu dan mencari restoran yang buka di sekitaran City Locker, lalu aku menemukan restoran pizza. Setelah 'mengisi bensin' itu, aku memutuskan untuk kembali ke Gallieni dan menunggu bus. Lebih baik aku yang menunggu bus daripada aku yang ditinggal kan?
Kebodohan 6: Tidak mengecek dari awal jarak dari stasiun Lille ke rumah host Airbnb.
Lagi-lagi karena aku sobat kismin, aku hanya mampu menginap di airbnb. Dan siapa yang sangka kalau rumah host airbnbku ini agak jauh dari stasiun, butuh sekitar 20 menit jalan. Tambahan lagi, aku baru sampai Lille pukul 10 malam! Itu artinya aku baru sampai di rumah host sekitar pukul 11 malam dong. Serius sih, perjalanan dari Gare du Lille Europe ke rumah host ini agak bikin aku deg-degan. Pasalnya aku harus berjalan malam-malam di kawasan yang sepi dan sendirian. Di situ aku merutuki diri sendiri, "Mengapa aku suka sekali mempersulit diri sendiri?".
Meski ujung-ujungnya selamat, sayangnya host airbnbku tidak bisa ditelepon. Tiap kali aku mencoba untuk telepon selalu terhubung ke mailbox. Begitu sampai depan rumahnya, aku tidak melihat tanda-tanda kehidupan. Di situ aku mulai merasa bahwa, "Oke kalau misal malam ini aku ditipu oleh host dan menggembel, akan kuterima nasibku."
Aku berdiri cukup lama di depan rumah host tersebut dan mencoba menghubunginya baik lewat aplikasi airbnb atau telepon. Hingga ada seorang Mas-Mas yang keluar dari Isabella Residence tersebut dan bertanya padaku apakah aku baik-baik saja? Rupanya French-man sama baiknya dengan British Gentlemen dong. Bahkan Mas-Mas itu menawarkanku untuk menelepon si host dan juga menawarkan ruangannya untuk kupakai kalau memang benar host airbnbku mengabaikan aku.
Beruntung setelah berdiri sekitar setengah jam, akhirnya host airbnb ngeh dan turun membukakan pintunya. Mission unlocked, ku tidak jadi menggembel di Lille.
Some Palace before Notre Dame |
Saking lelahnya berjalan lebih dari 25 ribu langkah di hari pertama Europe Trip, aku memutuskan untuk keluar dari rumah (airbnb) agak siangan. Rencana yang semula berangkat jam 9 pagi mundur jadi berangkat jam 11 siang. Itupun aku (lagi-lagi) harus menitipkan carrier lagi di Nannybag. Beruntungnya landmark di Lille tidak terlalu jauh satu sama lain. Sehingga aku tak butuh waktu lama untuk mengunjungi Porte de Paris, Palais Des Aux Beaux, Place du Theatre, dan lain-lain. Memang waktuku tidak banyak karena jam 3 sore aku harus langsung cuss ke Brussels.
Beruntungnya 4 jam tersebut bisa kumanfaatkan semaksimal mungkin, bahkan aku sempat menemukan restoran Jepang yang nikmat di sekitaran Garde Lille Flanders. Dan aku bisa sampai di stasiun Garde Lille Europe tepat waktu. Sayangnya, lagi-lagi kesialan menimpaku padahal aku sudah berusaha untuk tepat waktu dan tidak jadi anak ceroboh.
Kebodohan 7: Hampir ketinggalan bus (sebenarnya tidak, busnya aja yang delay).
Jadi ceritanya aku sudah berada di stasiun bus nih. Aku hendak menumpang Flixbus dengan jurusan Brussels pukul 3 sore. Total sudah ada tiga buah Flixbus yang parkir di stasiun tersebut dan aku tanyai satu per satu apakah mereka menuju ke Brussels? Ketiga supirnya menjawab tidak. Anehnya, bus terakhir berangkat pukul 3 sore tepat sama seperti di jadwal. Dan aku ingat sekali Mbak Ayodd mengatakan bahwa Flixbus tepat waktu banget. Di situ mulai muncul anxiety.
"Apakah bus yang barusan ini merupakan bus ke Brussels?" tapi aku ingat betul bahwa sang supir bilang tidak dan jurusan di bagian depan busnya tidak mengatakan ke Brussels. Setelah lapor ke Mbak Ayodd dan bertanya-tanya pada orang, aku mulai pasrah, "Bagaimana kalau aku benar-benar ditinggal pergi oleh bus tadi?"
Agar tidak jadi orang dungu lagi, aku membuat keputusan cepat dengan cara memesan bus langsung ke Antwerp dong. Untung ada voucher Flixbus akibat bookingan ke Cologne yang kugagalkan kemarin. Dan ternyata... setengah jam berikutnya Flixbus jurusan Brussels beneran datang dong. Like what??? Bahkan di apps, dia bilang on time. Faktanya, kedatangan bus ini bikin orang deg-degan setengah mampus.
Akibat delaynya bus ke Brussels ini, akhirnya aku harus mengurangi waktu jalan-jalan di Brussels juga dong. Awalnya aku mengalokasikan empat jam untuk berkeliling Brussels. Karena 'musibah' ini maka aku hanya punya waktu dua jam untuk mengunjungi Brussels. Itu mah namanya transit doang bukan travelling ke Brussels. Dan akhirnya ku hanya mengunjungi Grand Palace saja serta makan waffle.
Lucunya sebelum aku cuss lagi ke Antwerp, aku bertemu dengan Ibu-Ibu Malaysia. Beliau yang pertama kali membuka pembicaraan, "Malaysian? Indonesian?" dan kujawab "Indonesian." Di situ perbicangan kami dimulai. Rupanya anak perempuan Ibu-Ibu dari Sabah ini menikah dengan seorang dosen yang kini tinggal di Eindhoven. Beliau tanya-tanya apakah aku travelling sendirian dan kujawab iya. Setelah itu beliau bertanya-tanya bagaimana rute yang kutempuh hingga sampai ke Antwerp malam ini. Kuceritakanlah bahwa aku berangkat dari London ke Paris dengan bus seharga 19 Euro saja lalu lanjut Paris ke Lille dan Lille ke Brussels dengan bus seharga 5 Euro saja. Lanjut lagi dari Brussels ke Antwerp dengan harga yang sama. Beliau pun bercerita pada rekan-rekan serombongannya dan selama di bus ku dengar Bapak-Bapak yang bepergian bersama Ibu terus membahas alokasi keuangan transportasi yang kugunakan. Udahlah Pak, Bu, jangan dicontoh. Bisa gila kalau Europe Trip ambil overnight bus dan menenteng carrier kemana-mana ini. Mungkin sekali ini aku travelling macam ini, di masa depan aku ingin travelling yang lebih melegakan hati dan pikiran saja. Cheers! Salam dari Antwerp dan mari makan waffle 🙆.
hahahaha ujung-ujungnya tetep begini: di masa depan aku ingin travelling yang lebih melegakan hati dan pikiran saja, ditunggu kelanjutannya!! *komen khas indonesyen*
ReplyDeleteAbis capek mbak, apalagi kalau sendirian. Oleh sebab itu carikan aku jodoh please hahahahaha
DeleteMantaaap mbak gee seruu.. ditunggu bukunya ya ahahahah
ReplyDelete