Tentang Belahan Jiwa
"Have you found your soulmate?"
Itu adalah pertanyaan pertama yang muncul saat aku menonton salah satu video TED-talk yang muncul di linimasa aplikasi Youtube. Sebuah topik yang cukup unik dibandingkan dengan video-video Korea yang senantiasa menghiasi halaman utama Youtube. Karena tertarik, aku pun memutuskan untuk menonton video yang dibawakan oleh Ashley Clift-Jensen tersebut hingga tandas. Menarik juga bahasan soal soulmate ini.
Awalnya dia bercerita soal pertemuannya dengan sang suami. Sederhana, hanya berbekal browser dan Google, dia menemukan seorang pria INFJ dan mengajaknya kenalan. Pria yang bekerja sebagai software developer tersebut pun rupanya tertarik pada Ashley, wanita tersebut pun menuturkan bahwa ketika bertemu sang suami dia merasa banyak sekali kecocokan di antara mereka. "It was like puzzle, we were clicked, we matched. I was so creative and active meanwhile he was so serious and logical." Sampai sini bahasan masih menarik bagi para heteroseksual. Intinya, yang namanya jodoh itu ya pasti ketemu apapun caranya.
Tak lama, Ashley bilang kalau ternyata sang suami memutuskan untuk jadi seorang transgender. Dia mengaku bahwa keinginan suami tersebut membuatnya shock. Seketika aku jadi ingat kisah si Lili Elbe dan Gerda Wegener, transgender pertama dari Denmark. Dan betul saja, meski butuh waktu lama untuk memproses keputusan sang suami beralih jenis kelamin, Ashley sama seperti Gerda yang mendukung penuh keputusan sang belahan jiwa. Begitulah konsep belahan jiwa yang dikenalkan oleh Ashley dan hal itu membuatku berpikir.
Sebenarnya apa sih soulmate itu? Apakah kita (aku) sudah menemukan soulmate? Apakah kalian yang sudah menikah yakin bahwa pasangan kalian saat ini adalah belahan jiwa kalian? Apakah kalian bahagia? Apakah memang keberadaan sang belahan jiwa di sisi kita membuat kita bahagia? Serta puluhan pertanyaan yang kerap kali bermunculan saat aku mandi tadi. Memang benar sih guyonan soal "Ide selalu datang kalau kita sedang mandi." Shower Ideas.
Banyak sekali kisah-kisah menarik soal soulmate ini di sekitarku. Contoh paling dekat adalah Ayah dan Ibuku. Begitu aku terbang ke Inggris, cerita-cerita unik soal kehidupan berumah tangga makin menjadi-jadi jumlahnya. Di sekitarku setidaknya ada tiga pasangan yang telah menikah dan masing-masing punya cerita. Kalau aku simak, antara sang istri dan sang suami itu punya perbedaan dan persamaan sekaligus. Sama seperti Ayah dan Ibuku, mereka itu beda 180 derajat namun di sisi lain mereka sama, dalam beberapa hal mereka tampak sama persis.
Sementara menurut keyakinan yang aku anut, "Jodoh itu adalah cerminan diri kita sendiri." Ya secara tidak langsung, jodoh itu punya sifat dan nilai yang mirip dengan yang kita miliki. Jujur saja, konsep soulmate ini sangat abstrak dan illogical.
Mbak Ayod pernah berkata padaku kalau kebahagiaan dalam hidup berumah tangga itu tergantung partner. Sangat susah untuk menyanggah argumen tersebut karena aku pun menyetujuinya. Pernikahan itu kan menyamaratakan ego, pernikahan itu menyatukan dua orang yang berbeda, pernikahan itu bisa terjadi dan berjalan lancar apabila pasangan berbagi nilai-nilai yang sama. Kalau ditanya apakah aku sudah menemukan soulmate-ku? Sangat sulit untuk menjawabnya.
Pernah aku berpikir kalau aku sudah menemukan orang yang tepat. He was the right man ever, I thought. Kami berbeda dalam beberapa hal tapi kami juga mirip di sebagian hal lain. Namun kalau dipandang dari sisi "pernikahan itu tergantung partner" sepertinya aku dan dia tidak akan bisa bersatu. Sebab di Indonesia pernikahan itu tidak hanya soal kita dan pasangan saja tapi kita dan lingkungan dan keluarga mereka. Ya kalau nikah tinggal nikahin dia doang mah hayuk lah berangkat, sayangnya pernikahan kan tidak sesimpel itu. Kembali lagi ke pertanyaan di awal, sepertinya belum.
Ada sejumlah orang yang kurasa tepat buatku karena beberapa hal. Ada beberapa pria yang kukenal dan sempat menjalin hubungan denganku yang kupikir mereka adalah tambatan hatiku, belahan jiwaku, you name it. Semakin dewasa, ketika aku memikirkan hal itu, rasanya terlalu dini untuk menilai seorang pria "Dia adalah soulmate-ku!" Sebab hidup itu seperti puzzle, sembari berproses kita akan menemukan potongan-potongan yang hilang hingga membuat diri kita utuh. Kurasa pasangan atau soulmate pun begitu.
Ashley atau Gerda misalnya, mereka memang cocok dengan suami mereka. Sampai pada suatu titik sang suami memutuskan untuk beralih identitas and yet they still beside them. How supportive and beautiful, innit? Aku tidak tahu apakah nanti soulmate-ku akan seperti itu, se-suportif itu pada apapun yang kusuka dan ingin kulakukan. Sebab aku juga sedang berusaha untuk jadi orang yang suportif. I was a bad woman, I barely support what my boyfriend were doing back then. Untuk itu aku melatih diri untuk jadi orang yang suportif karena aku juga ingin disupport. Yha siapa sih yang nggak kepingin punya suami yang dengan rela melepaskanmu pergi sekolah jauh-jauh atau berkarir dengan mapan tanpa peduli prejudice orang lain soal kapan punya anak dan begini-begitu?
Lagi-lagi konsep jodoh itu abstrak, nggak pasti. Kadang aku bertemu dengan orang-orang yang cara berpikir, cara memandang sesuatu, kegemaran, dan interest sama. Tapi ketika dikembalikan ke "Apakah dia soulmate-ku?" itu belum tentu kejadian juga. Somehow, orang-orang yang bisa jadi 180 derajat berbeda justru yang paling suitable untuk diri kita. Selalu begitu.
Contohnya Heechul, ya dia punya banyak kemiripan denganku tapi kan dia dan aku sejauh itu dan tidak mungkin dekat jadi ya sudah kemungkinan baginya untuk jadi soulmateku tereliminasi secara otomatis. Kalau ini mah contoh delusional dan imajinatif.
Yang menarik adalah (kalian boleh percaya atau tidak) Tuhan sepertinya mendengarkan betul doaku lho. Beberapa waktu lalu sebelum berangkat ke Inggris, aku memohon agar ditunjukkan jalan yang terbaik untuk sekolah ke luar negeri. Jalannya memang berliku sih tapi turns out itu jalan yang terbaik. Kalau aku tidak pergi ke Inggris mungkin aku tidak akan bertemu orang-orang inspiratif yang senantiasa membuatku bersyukur atas kehidupan dan rezeki yang diberikan padaku. Yang kedua, dan yang paling bikin aku takjub adalah aku minta secara spesifik agar diberikan rezeki untuk beli iPhone. Tahu tidak? Aku malah mendapatkan iPhone secara cuma-cuma di sini. Di situ aku benar-benar shock karena tidak menyangka kalau doa efeknya sekuat itu.
Dan yang terakhir, aku berdoa agar didekatkan dengan jodoh dan bila yang dulu adalah jodohku maka didekatkan tapi kalau tidak ya dijauhkan. Turns out, aku dijauhkan dengan yang dulu dan sepertinya memang dia bukan jodoh maupun soulmate-ku. Di sisi lain, aku bertemu dengan seseorang yang bisa kubilang merupakan belahan diriku. Otak kami tuh seperti puzzle, cocok dengan potongan yang berbeda. Tapi rasanya aku terlalu dini untuk menilai kalau dia soulmate-ku even if I really want to. Sayangnya, kalau pun memang benar dia ini orang yang didekatkan padaku rasanya tidak akan ada jalan buat kami bersama. Oleh sebab itu, lebih baik aku mensyukuri pertemuan dengannya dan menikmati momen-momen bersama kami tanpa tendensi apa-apa. Toh, waktuku nggak lama di sini. Bisa jadi malah aku ketemu jodohku beneran di Indonesia? Atau di tempat lain? Who knows? Atau bisa jadi Heechul beneran jadi jodohku? So, annyeong! 🙋
Sementara menurut keyakinan yang aku anut, "Jodoh itu adalah cerminan diri kita sendiri." Ya secara tidak langsung, jodoh itu punya sifat dan nilai yang mirip dengan yang kita miliki. Jujur saja, konsep soulmate ini sangat abstrak dan illogical.
Mbak Ayod pernah berkata padaku kalau kebahagiaan dalam hidup berumah tangga itu tergantung partner. Sangat susah untuk menyanggah argumen tersebut karena aku pun menyetujuinya. Pernikahan itu kan menyamaratakan ego, pernikahan itu menyatukan dua orang yang berbeda, pernikahan itu bisa terjadi dan berjalan lancar apabila pasangan berbagi nilai-nilai yang sama. Kalau ditanya apakah aku sudah menemukan soulmate-ku? Sangat sulit untuk menjawabnya.
cr: David Avocado Wolfe |
Ada sejumlah orang yang kurasa tepat buatku karena beberapa hal. Ada beberapa pria yang kukenal dan sempat menjalin hubungan denganku yang kupikir mereka adalah tambatan hatiku, belahan jiwaku, you name it. Semakin dewasa, ketika aku memikirkan hal itu, rasanya terlalu dini untuk menilai seorang pria "Dia adalah soulmate-ku!" Sebab hidup itu seperti puzzle, sembari berproses kita akan menemukan potongan-potongan yang hilang hingga membuat diri kita utuh. Kurasa pasangan atau soulmate pun begitu.
Ashley atau Gerda misalnya, mereka memang cocok dengan suami mereka. Sampai pada suatu titik sang suami memutuskan untuk beralih identitas and yet they still beside them. How supportive and beautiful, innit? Aku tidak tahu apakah nanti soulmate-ku akan seperti itu, se-suportif itu pada apapun yang kusuka dan ingin kulakukan. Sebab aku juga sedang berusaha untuk jadi orang yang suportif. I was a bad woman, I barely support what my boyfriend were doing back then. Untuk itu aku melatih diri untuk jadi orang yang suportif karena aku juga ingin disupport. Yha siapa sih yang nggak kepingin punya suami yang dengan rela melepaskanmu pergi sekolah jauh-jauh atau berkarir dengan mapan tanpa peduli prejudice orang lain soal kapan punya anak dan begini-begitu?
Lagi-lagi konsep jodoh itu abstrak, nggak pasti. Kadang aku bertemu dengan orang-orang yang cara berpikir, cara memandang sesuatu, kegemaran, dan interest sama. Tapi ketika dikembalikan ke "Apakah dia soulmate-ku?" itu belum tentu kejadian juga. Somehow, orang-orang yang bisa jadi 180 derajat berbeda justru yang paling suitable untuk diri kita. Selalu begitu.
Contohnya Heechul, ya dia punya banyak kemiripan denganku tapi kan dia dan aku sejauh itu dan tidak mungkin dekat jadi ya sudah kemungkinan baginya untuk jadi soulmateku tereliminasi secara otomatis. Kalau ini mah contoh delusional dan imajinatif.
Yang menarik adalah (kalian boleh percaya atau tidak) Tuhan sepertinya mendengarkan betul doaku lho. Beberapa waktu lalu sebelum berangkat ke Inggris, aku memohon agar ditunjukkan jalan yang terbaik untuk sekolah ke luar negeri. Jalannya memang berliku sih tapi turns out itu jalan yang terbaik. Kalau aku tidak pergi ke Inggris mungkin aku tidak akan bertemu orang-orang inspiratif yang senantiasa membuatku bersyukur atas kehidupan dan rezeki yang diberikan padaku. Yang kedua, dan yang paling bikin aku takjub adalah aku minta secara spesifik agar diberikan rezeki untuk beli iPhone. Tahu tidak? Aku malah mendapatkan iPhone secara cuma-cuma di sini. Di situ aku benar-benar shock karena tidak menyangka kalau doa efeknya sekuat itu.
Dan yang terakhir, aku berdoa agar didekatkan dengan jodoh dan bila yang dulu adalah jodohku maka didekatkan tapi kalau tidak ya dijauhkan. Turns out, aku dijauhkan dengan yang dulu dan sepertinya memang dia bukan jodoh maupun soulmate-ku. Di sisi lain, aku bertemu dengan seseorang yang bisa kubilang merupakan belahan diriku. Otak kami tuh seperti puzzle, cocok dengan potongan yang berbeda. Tapi rasanya aku terlalu dini untuk menilai kalau dia soulmate-ku even if I really want to. Sayangnya, kalau pun memang benar dia ini orang yang didekatkan padaku rasanya tidak akan ada jalan buat kami bersama. Oleh sebab itu, lebih baik aku mensyukuri pertemuan dengannya dan menikmati momen-momen bersama kami tanpa tendensi apa-apa. Toh, waktuku nggak lama di sini. Bisa jadi malah aku ketemu jodohku beneran di Indonesia? Atau di tempat lain? Who knows? Atau bisa jadi Heechul beneran jadi jodohku? So, annyeong! 🙋
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)
In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)