Kisah Sedih di Hari Minggu
Sebenernya postingan ini turun karena aku triggered setelah baca blog Ron, dia adalah salah satu blogger sekaligus selebtwit yang aku gemari sejak aku kenal EXO. Ya, berkat baca blognya aku jadi semakin terjerumus dalam lembah fandom perKpopan lagi setelah hiatus bertahun-tahun. Namun Ron yang dulu dan sekarang agak berbeda. Belakangan dia lebih sering curhat dan curhatnya yang terakhir ini bikin aku mikir juga. Setidaknya aku mengalami hal yang kurang lebih sama seperti yang dia alami dalam postingan ini.
Sebenernya blog ini bukanlah blog yang berisi curhatanku, aku jarang banget curhat di blog (yang dulunya ingin kumonetisasi ini). Kalaupun curhat biasanya aku lebih ke menyarankan ke diriku dan para pembaca, at least semua tulisanku di sini berisi manfaat yang bisa dirasakan langsung atau tidak langsung oleh pembaca. Tapi kali ini aku bener-bener pengen curhat tentang apa yang kualami akhir-akhir ini.
Aku engga tahu harus mulai cerita darimana, yang jelas ada tiga hal yang paling kukhawatirkan selama beberapa bulan terakhir. Dan sebetulnya juga aku sudah curhat ke salah satu sahabat baikku lewat telepon. Dan aku sudah merasa sedikit lega, hanya saja ada yang kurang. Entahlah itu apa yang jelas aku butuh untuk membersihkan pikiranku dari kegalauan yang berkecamuk dan satu-satunya media tempat aku bisa mengungkapkannya dengan jelas ya lewat tulisan. Jadi, aku mau mulai curhat aja ya.
Yang pertama adalah tentang cita-citaku melanjutkan sekolah.
Awal bulan April tidak membawa kabar baik untukku. Aku mendapatkan sebuah e-mail penolakan dari kampus yang aku daftar yakni Ulm University, Jerman. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu kenapa aku ditolak tapi aku masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa aku ditolak. Untuk alasan penolakannya, aku pasti akan cerita di sebuah postingan terpisah (dan itupun kalau aku berhasil mendapatkan kampus lainnya).
Jadi, ada beberapa hal yang membuat pikiranku terbebani pasca penolakan kampus. Yah meski sebetulnya aku sudah berkali-kali menelan kegagalan, hanya saja waktu kini sedang tak bersahabat denganku. Dan aku harus akui bahwa aku salah strategi. Suatu kali temanku berkata begini, "Kamu salah fokus. Kamu cuma fokus untuk nyari beasiswa aja tapi kamu engga mikir panjang tentang langkah ke depan. Kamu terlalu meremehkan,"
Ingin rasanya aku membantah argumen itu karena aku merasa bahwa aku sudah merancang rencana dengan baik. Bila aku gagal ke Ulm aku sudah berencana ke Tubingen, Heidelberg, Goettingen, atau kampus lainnya di Jerman. Namun setelah aku bergabung ke grup WhatsApp Pre-Departure Jerman, aku baru sadar bahwa mendapatkan sekolah (Letter of Acceptance) dari Jerman itu tidak mudah. Seriously. Hal ini pas banget dengan argumen temanku bahwa aku meremehkan. Ya, aku meremehkan pendaftaran kampus Jerman yang semula aku rasa mudah. Ternyata kenyataannya sangat pedih!
Saat aku didera kegalauan karena ditolak kampus, aku jadi memutar otak. Aku harus cari cadangan kampus di negara lain. Kenyataan kedua ini yang membuatku makin stress, di negara-negara lain seperti Prancis, Swiss, Swedia, atau Austria bahkan Jepang dan Korea sudah deadline. Pendaftaran telah ditutup sejak awal tahun. Di sini aku benar-benar merasa useless, kemana saja aku selama ini? Kenapa aku terlalu bersantai? Well, ada negara lain yang bisa dituju seperti Belanda, Inggris, atau Australia misalnya. Namun kebijakan terbaru LPDP membuat langkahku terhenti. Dan beruntung aku sudah menemukan solusi atas masalah ini. Masih ada beberapa negara yang membuka pendaftaran dan aku harus bergerak cepat.
Ada rasa kecewa saat aku mengetahui bahwa teman-temanku kini sudah berangkat kuliah. Sementara kurang lebih 5 bulan lagi aku masih di sini dan belum mendapatkan LoA! Kebayang kan betapa stressnya aku? Belum lagi nanti kalau sudah dapat LoA baru harus ngurus perpindahan kampus (yang belum tentu diacc LPDP) atau visa, atau housing, resign dari pekerjaan dan apapun. Aku harus menyelesaikan semua itu dalam 5 bulan!
Sebetulnya masalahku tidak rumit bila aku segera bertindak dan istiqomah berdoa. Sebetulnya tak ada yang bisa membantuku kecuali diriku sendiri dan Tuhan. Hanya saja, aku rasa perlu untuk mencurahkan kegelisahan ini pada seseorang atau tulisan agar aku lega. Agar aku sedikit bisa bernapas bebas. Agar aku kembali ingat untuk fokus pada tujuanku.
Yang kedua, apakah aku sudah move on atau belum?
Di samping kegalauanku karena ditolak kampus, aku juga gelisah karena perasaanku yang terombang-ambing ini. Salah satu alasanku untuk memutuskan kekasihku yang dulu adalah aku ingin berkonsentrasi melanjutkan pendidikan. Apa jadinya kalau aku gagal sekolah kan? Apa arti pengorbanan dia mendukungku waktu itu? Apa arti alasanku memilih untuk pergi darinya?
Yah, walaupun dalam beberapa waktu terakhir ada sebuah alasan yang membuatku tak menginginkannya lagi. Karena sebuah hal sepele yang seharusnya tak memisahkan kami berdua. Di satu sisi, aku benar-benar masih marah atas sikapnya tersebut. Di sisi lain, he was just the right man for me? (or so I thought because I haven't met someone better).
Ada hal yang membuat kenangan-kenanganku bersama terpicu untuk aku ingat kembali. Ada tempat-tempat yang membuatku mengingat kebahagiaan kami berdua. Ya, bisa dibilang selama tiga tahun bersama kami lebih banyak membuat kenangan indah daripada kenangan pahit. Aku bahagia bersamanya dan dia bahagia bersamaku (?). Dan melihatnya muncul di sosial media (temannya) membuat hatiku perih. Aku masih ingin dia mencintaiku tapi aku tak ingin dirinya bersamaku. Aku cuma tak bisa membayangkan bagaimana bila dia bahagia dengan orang lain dan itu bukan aku?
Yah, walaupun eventually I will experience that again (perhaps). I've watched my ex becomes so happy with his new girlfriend and that doesn't bother me. Aku engga tahu apakah kali ini aku mengikhlaskannya bersama wanita lain atau tidak.
Sementara hal ini berlanjut ke masalah ketiga yang kupikirkan saat ini.
Sehubungan dengan keinginanku untuk tak melihatnya dengan wanita lain, aku justru ingin bersanding dengan pria lain. Ya, pria yang beberapa hari terakhir sering aku bicarakan, my office mate. Jika ditimbang dari beberapa hal (dan tentu saja aku baru tahu luarnya saja), my crush aka officemate is far better. He doesn't smoke, he's more handsome, he's musician, he loves to read, he's quiet, he's kind of introvert, and he writes. Ada banyak hal yang dimiliki gebetanku yang pas dengan kriteria lelaki idamanku, hanya saja we don't get along to well.
Aku mulai menyukai my office mate ini bahkan ketika aku masih bersama Mas Mantan. Aku merasakan getaran aneh saat si my office mate menyapaku duluan dan memperlakukanku dengan baik. He was so opened back then before I confessed that I had a crush on him. Simply, sekedar menyapaku pagi-pagi atau sekedar mengajakku bercanda via hangout, atau sekedar mengajakku ngobrol ketika makan siang itu sudah bisa membuatku jatuh hati padanya. Sayang, cintaku bertepuk sebelah tangan.
Sebetulnya aku sendiri juga gak berharap dia bakal jadian denganku atau gimana karena aku sendiri sudah berjanji bahwa aku tak mau lagi pacaran pasca putus dari Mas Mantan. Aku hanya ingin dia notice bahwa "Aku tuh suka kamu mas," hanya itu. Aku cuma ingin dia memperlakukanku like he used to do before I confessed. Karena aku benar-benar awkward dan gak tau harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengannya. Ketika dia tiba-tiba jadi dingin, aku merasa benar-benar bersalah telah bilang padanya kalau aku suka dia. Atau mungkin dia bersikap demikian karena aku terlalu cepat mengakui perasaanku? Atau dia bersikap demikian karena takut aku jadikan pelarian pasca aku putus?
Sebetulnya aku menikmati perasaan sukaku ini padanya. Aku suka melihatnya dari kejauhan, apalagi saat mengenakan kemeja flanel biru dengan lengan digulung hingga siku itu. Aku suka melihatnya mengenakan jaket denim itu, aku suka melihatnya serius dengan pekerjaannya. Aku suka melihatnya tersenyum. Aku suka mendengarkan suaranya. Aku suka lengannya yang kurus tapi kuat itu. Aku suka jemarinya saat bermain gitar. Aku suka caranya berjalan. Aku bahkan suka melihat punggungnya dari belakang. Aku benar-benar suka dia dan apa yang ada di dirinya.
Oh I really wish you read this, Mas. I want to show you that I really really like you!
But I know when to give up. Melihat caranya meresponku, sepertinya aku tak akan lagi terus-terusan berusaha menghubunginya. Well, it's not that intense tho. Tapi selalu aku yang mencoba untuk menghubunginya terlebih dulu. Anyway sepertinya aku juga akan membiarkan keadaan seperti ini saja. Saling diam dan hanya mengaguminya dari balik komputer kantor.
To be honest, setelah bercerita panjang lebar seperti ini aku sedikit lega lho! Because writing is relieving stress. And you don't have to read this super long post on my blog. I just want to share it to reduce my stressful brain. Nobody wants to know my story anyway.
Moral of the story, "Never underestimate anything. Watch your step carefully and learn how to finish things first before starting."
I love it mbak ge.. :)
ReplyDeleteSemoga smeua dialncarkan dan diberi jalan terbaik ya...
Tetap semangat dan ceria :)
salam kenal
Putri
Salam kenal mbak Calonnya Papi :D
Delete