Suara Air Terjun
“Mari Adinda kita berjalan-jalan barang sebentar ke dalam
hutan. Kita akan mengagumi indahnya jantung hutan.”, ajakan Kangmas kepadaku
pagi itu. Aku segera bersiap-siap menyambut ajakan suamiku yang baru lima bulan
lalu meminangku.
“Adinda mau
bersiap sebentar Kangmas,” ujarku seraya pergi meninggalkannya terduduk di tepi
ranjang. Kangmas menciup keningku sejenak sebelum aku beranjak membersihkan
diri. Aku tersenyum seraya mengelus pipinya ketika aku pergi.
Kangmas Adipati, aku memanggilnya. Dia adalah lelaki
tertampan di Perbukitan Anjasmara ini. Beruntungnya aku mendapatkan cintanya,
beruntungnya aku kini menjadi istrinya dan wanita yang menjadi cintanya
satu-satunya.
***
Anjarwati,
istriku. Betapa cantiknya parasnya, cahaya wajahnya lebih indah dari sinar
bulan Purnama. Tiada sutra manapun yang menandingi halus kulitnya. Anjarwati
istriku, aku beruntung mendapatkan hatinya, jiwanya dan raganya.
Hari ini
akan kuajak dia mengagumi ciptaan Sang Hyang, masuk ke dalam hutan di kaki
bukit Anjasmara dan menyegarkan diri di Air Terjun di tengah hutan nanti. Aku
tak bisa membayangkan betapa segar air dari air terjun itu. Anjarwati akan
senang.
***
Anjarwati
dan Adipati akan pergi ke hutan? Ini merupakan kesempatan bagus bagiku untuk
menghabisi Adipati. Ketika Adipati berhasil kutaklukkan maka Anjarwati akan
sendirian dan saat itulah aku akan datang padanya. Akan tetapi, apabila aku
membunuh Adipati dengan tanganku sendiri Anjarwati akan membenciku. Aku harus
melakukan sesuatu. Aku harus meminta bantuan seseorang yang lebih kuat dariku
agar aku bisa singgah di hati Anjarwati tanpa rasa bersalah juga tanpa membuat
Anjarwati membenci diriku.
Aku tahu
ada seseorang yang bisa membantuku, raksasa di dalam hutan. Bethara Klawu. Ya,
aku harus segera menemuinya dan meminta pertolongannya. Akan kuhadiahkan tumbal
jikalau dia berhasil membunuh Adipati dan membuatku bersanding dengan
Anjarwati.
Aku
beranjak dari tempat persembunyianku, aku mengendap-endap keluar dari balik
semak di depan pelataran kamar Anjarwati dan Adipati. Aku mengambil langkah
diam hingga aku mencapai mulut gerbang. Seusai aku keluar dari gerbang aku
berlari masuk ke hutan dan terus ke jantung hutan hingga kutemukan tempat untuk
memanggil Bethara Klawu.
“Hai
Bethara Klawu, Saya Prabu Widagdo Sayekti datang kemari untuk meminta
bantuanmu. Segeralah keluar dan tampilkan sosokmu.”, aku memanggil Bethara
Klawu tanpa gentar. Sunyi, hanya terdengar bunyi dedaunan bergemirisik tertiup
angin. Aku menghela nafas dan berteriak lantang. Meneriakkan kata-kata yang
sama.
“Hai
Bethara Klawu, Saya Prabu Widagdo Sayekti datang kemari untuk meminta
bantuanmu. Segeralah keluar dan tampilkan sosokmu.” Suasana masih saja hening.
Aku mulai putus asa dan berpikir bahwa aku harus menemukan cara licik lain untuk
menggulingkan Adipati. Sesaat setelah aku sibuk dengan pikiranku, angin mulai
berhembus dengan kencang dan udara mendadak dingin. Aku tak gentar, Bethara
Klawu hanyalah pesuruh para bangsawan.
“Hahahahahahaha,”
terdengar suara tawa menggelegar tanpa sosok.”Ada apa Prabu Sayekti memanggil
Saya?”, suara itu menggelegar mengelilingi hutan.
“Tunjukkan
sosokmu!”, perintahku tanpa takut. Kemudian gumpalan awan kelabu menghampar di
hadapanku. Bergumul dalam bentuk sedemikian rupa dan perlahan menyusut menyisakan
sesosok raksasa yang tingginya hampir sama dengan pohon jati tua di tengah
hutan itu. Aku harus mendongak.
“Ada apa
Prabu Sayekti memanggil Saya?”
“Saya ingin
meminta bantuanmu untuk membinasakan Adipati yang sebentar lagi akan melintasi
hutan ini.”, aku memandangnya cukup lama hingga membuat leherku terasa sedikit
sakit.
“Mengapa
meminta bantuan Saya? Prabu bisa saja melakukannya sendiri. Kalau Saya mau
membantu Prabu, lalu apa yang akan Prabu berikan kepada Saya? Apakah Dewi
Anjarwati akan Prabu berikan?”, kemudian si Raksasa tertawa terkekeh dan
membuat bumi yang kupijak bergetar.
“Akan
kuberikan kau gadis setiap malam bulan purnama tetapi Anjarwati tidak akan
kuberikan kepadamu. Akan tetapi bila Anjarwati berhasil bersanding denganku,
jika tidak aku tidak akan memberimu gadis setiap malam bulan purnama.” Rakasasa
Bethara Klawu menimbang tawaranku. Cukup lama sebenarnya mengingat Adipati dan
Anjarwati akan melewati daerah ini, kemudian dia mengangguk dan mencoba meremas
tanganku sebagai bukti setuju.
“Baiklah,
Saya akan binasakan Adipati dan Prabu Sayekti harus mengirimkan seorang gadis
ke jantung hutan ini setiap malam bulan purnama.”
Aku
mengangguk dan menyeringai licik. Terimalah ini Adipati, engkau yang tega
merebut cintaku satu-satunya, Anjarwati. Binasalah kau dan Anjarwati akan
menjadi milikku.
“Sekarang
aku akan pergi, sebentar lagi Adipati dan Anjarwati akan melintas disini.”
***
Anjarwati
bergelayut manja di lenganku. Kami berdua naik kereta menuju jantung hutan.
Kemudian kami akan sampai di air terjun yang airnya konon bisa membuat kami
awet muda. Aku bahagia hari ini bisa mengajak istriku tercinta ini jalan-jalan
di kaki bukit Anjasmara. Aku belum mengajaknya berkeliling lima bulan
belakangan sejak kami menikah. Ah, Anjarwati aku mencintaimu.
“Ah,” aku
merintih. Tanganku tertusuk sesuatu di pegangan kereta. Jariku berdarah dan
seketika Anjarwati tersentak. Matanya terbelalak.
“Kangmas,
Kangmas berdarah.” Anjarwati berujar panik serta meraih jariku yang
berdarah.”Kangmas kita kembali pulang sekarang, kita tunda saja perjalanan kita
ke hutan.”
“Tidak
mengapa, Adinda. Ini hanya luka kecil. Mari kita lanjutkan perjalanan.” Aku
menenangkan Anjarwati. Anjarwati mengalah dan membebat lukaku sedikit.
***
Aku tahu
ada yang aneh sejak aku memasuki hutan tadi. Aku merasakan bumi bergetar dan
langit mendung di jantung hutan. Seharusnya aku menolak ajakan Kangmas sebelum
kami benar-benar masuk ke hutan. Perasaanku tidak enak, aku merasa ada yang
salah dan aka nada kejadian yang tidak baik. Ah, jernihkan pikiranmu Anjarwati.
Kangmas Adipati bukanlah orang yang lemah, selain itu kalian juga dikawal oleh
empat orang penjaga kadipaten.
Sayangnya, aku masih tetap sangsi membiarkan Kangmas Adipati meneruskan
perjalanan.
***
Kurasa,
kami sudah berada di tengah hutan berarti jarak kami ke Air Terjun itu tinggal
sedikit lagi. Mendadak kereta kami berhenti. Aku dan Anjarwati berpandangan.
Aku merangkulnya sejenak lalu memberi kode bahasa tubuh padanya agar tetap
berada di dalam kereta.
“Aku akan
melihat keadaan di luar, Adinda. Tetaplah berada di dalam kereta ini hingga
kukembali.” Aku menyunggingkan senyum dan mengecup keningnya sebelum aku turun
dari kereta.
Betapa
terkejutnya aku melihat sesosok Bethara menghadang jalan kami. Ada apa gerangan
hingga Bethara ini keluar dari persemayamannya dan menghambat jalan kami?
“Wahai,
Bethara. Mengapa engkau tidak membiarkan kami lewat? Kami tidak mengusik
duniamu, kami hanya sekedar numpang lewat.” Aku angkat bicara, pengawalku turun
dari kuda mereka dan mengambil kuda-kuda.
“Hahahahahahaha.
Wahai Adipati, aku adalah penguasa bukit Anjasmara. Barang siapa melewati
daerah kekuasaanku harus melalui izinku dahulu. Dan kau tidak akan kuizinkan
melewatinya.”
“Mengapa
aku tak diizinkan melewatinya?”, aku menyangkal Bethara. Alisku bertaut.
“Kau boleh
melewati daerah jantung hutan ini kalau kau serahkan wanita yang ada di dalam
keretamu itu.”
“Aku tidak
akan menyerahkan Anjarwati padamu. Biarlah nyawaku menjadi taruhannya kalau
sampai kau berani menyentuh wanitaku.” Tantangku.
“Keberanian
yang bagus anak muda, mari kita selesaikan saja ini.” Bethara mengambil
kuda-kuda dan aku pun siap menghunus kerisku. Aku berkontak mata dengan salah
satu pengawalku. Kemudian aku berbicara tanpa suara, tolong bawa Anjarwati ke
gua di balik air terjun dan aku akan segera menyusulnya disana. Untung saja
pengawalku paham, Ia mengangguk dan berjalan menuju kudanya. Ia akan membawa
Anjarwati ke air terjun. Anjarwati akan aman di sana.
Pengawalku
dan aku mulai melancarkan serangan. Membuat Bethara sibuk sedangkan Anjarwati
dibawa salah satu pengawalku untuk diamankan. Aku tersenyum melepas
kepergiannya. Entahlah, apakah aku akan menemuinya kembali kali ini atau tidak.
***
Sudah
kuduga akan ada kejadian semacam ini, inilah bukti prasangkaku. Aku hanya bisa
berdoa dan berharap Kangmas Adipati baik-baik saja hingga Ia menyusulku ke
balik air terjun nantinya. Aku tak akan sanggup kehilangan Kangmas hari ini.
Kalau saja aku menolaknya, kalau saja aku bersikeras mengajaknya pulang sebelum
kami mencapai jantung hutan tadi.
Ah,
Anjarwati. Jangan pikirkan kemungkinan terburuk. Bayangkanlah nanti Kangmas
Adipati menjemputmu di air terjun yang indah itu.
***
Aku
menyaksikan pertarungan sengit Adipati beserta tiga pengawalnya melawan Bethara
Klawu. Bethara Klawu bukanlah lawan yang mudah ditumbangkan. Adipati terlalu
meremehkan kekuatan si penunggu hutan bukit Anjasmara ini. Aku mengintai dari
balik semak-semak dan tinggal menunggu kematian Sang Adipati. Jantungku
berdegup kencang menyadari kenyataan bahwa sebentar lagi Anjarwati akan menjadi
milikku.
Ketiga
pengawal Adipati sudah kewalahan, dengan satu sentakan saja ketiga pengawal
tersebut tumbang. Kini tinggal Adipati dan Bethara Klawu seorang. Adipati juga
nampak letih, tenaganya hampir habis tetapi semangatnya tidak padam.
Sepersekian menit berikutnya aku mendengar derap langkah kuda, anak panah
menancap di leher Bethara. Bethara mengerang, suaranya menggaung hampir di
seluruh hutan.
Adipati
kini tak sendiri, Ia bersama pengawalnya yang lain. Kedua orang itu masih sibuk
bergumul dengan Bethara. Aku menyaksikan di balik semak, terdiam. Aku sibuk
dengan pikiranku sendiri dan membiarkan rasa gelisah berkecamuk. Aku hanya
tidak berharap kalau Adipatilah yang menumbangkan Bethara, aku tak ingin pada
akhirnya Adipati kembali ke pelukan Anjarwati.
Mereka
bertiga masih bertarung sengit. Adipati menusuk-nusuk kaki Bethara, pengawalnya
melontarkan anak-anak panah ke tubuh si Raksasa Penunggu Hutan Bukit Anjasmara.
Namun Bethara tidak diam saja, Ia menyentak-nyentak. Ia membanting dahan-dahan
pohon ke arah Adipati dan pengawalnya. Adipati dan pengawalnya masih gigih
melawan.
Keringat
dingin mulai mengucur di pelipisku, aku khawatir Bethara bisa saja kalah. Atau
mungkin saja keputusanku meminta bantuan kepada Bethara Klawu salah? Mungkin
saja Ia tidak sekuat yang orang-orang ceritakan tentangnya.
***
Aku akan
terus berjuang demi cintaku, Anjarwati. Kalau aku sampai mati maka Anjarwati
akan diambil Bethara ini. Kalau sampai aku mati maka aku tak kan sanggup meninggalkan
Anjarwati menyesali kepergianku. Aku harus berjuang, aku akan berjuang hingga
aku tak sanggup berdiri lagi. Begitu kukalahkan Bethara ini aku akan segera
menuju gua di balik air terjun. Aku akan menemuinya dan mengajaknya pulang ke
rumah.
Rasakan ini
Bethara!
***
Adipati
menghunus Bethara Klawu tepat di jantungnya, aku menyaksikannya dengan mata
kepalaku sendiri. Mati aku! Inilah akhirnya, Adipati akan memenangkan
pertarungan sengit ini. Jika Bethara memang kalah maka aku sendiri yang akan
membinasakan Adipati. Bethara Klawu mengerang kesakitan, meronta-ronta,
membanting-banting dahan pohon tanpa arah. Ia mencabuti pohon pohon dan
mengayunkannya kesana kemari, membabi buta. Pengawal Adipati terkena sabetannya
dan terlontar hingga menabrak pohon lainnya. Kemudian pengawal itu menggelepar
dan terdiam, kuat dugaanku bahwa pengawal tersebut akhirnya tewas.
Sekarang
hanya ada Adipati dan si Bethara, Bethara Klawu masih mampu menahan rasa sakit
hujaman keris Adipati tepat di jantungnya. Sedangkan Adipati menghindari
sabetan-sabetan pohon yang diayun-ayunkan Bethara tanpa perlawanan. Adipati
tidak memiliki senjata apapun untuk melawan Bethara.
***
Kangmas
lama sekali, aku duduk bersila di gua ini sudah terasa lama sekali. Gemuruh air
terjun membuatku merasa tak nyaman. Aku ingin pergi dan melihat keadaan Kangmas.
Aku mengkhawatirkannya, mengkhawatirkan keselamatanya lebih dari mengkhawatirkan
keselamatanku sendiri.
Aku
berdiri, menimbang-nimbang. Haruskah aku pergi dari gua ini? Aku tidak cukup
berani untuk keluar dari gua ini dan pergi kembali ke jantung hutan. Aku hanya
bisa berjalan mondar-mandir karena kegelisahanku tak kunjung mereda.
“Wahai,
Anjarwati. Adipati tak terselamatkan. Ia akan dikalahkan. Ia tak akan
kembali.”, ujar sebuah suara yang menggema di dalam gua. Aku tak yakin suara
ini berasal dari gua ini ataukah dari kepalaku sendiri. Aku gemetar.
“Siapa kau?
Mengapa kau katakana bahwa Kangmas akan dikalahkan? Tunjukkan sosokmu!”, aku
berusaha menguatkan diri menjawab suara itu.
“Aku adalah
air terjun ini, Anjarwati. Aku tahu kau akan kemari. Aku sudah lama berteman
dengan Adipati. Ketahuilah bahwa semua ini sudah direncanakan.” Sahut suara
itu.
Aku
mengernyit, direncanakan? Untuk apa direncanakan?
“Siapa yang
merencanakan semua ini dan untuk apa semua ini direncanakan, wahai air terjun?”
“Widagdo
Sayekti mengkhianati Adipati, Anjarwati. Ia ingin memilikimu. Maka dari itu Ia
menemui Bethara Klawu untuk membinasakan Adipati. Dan saat ini Adipati telah ….”
Tak ada
perintah dan tak ada juga dorongan. Tak ada kesadaran dan tak ada kenyataan. Air
mata membanjiri pelupukku, dadaku terasa nyeri. Aku berjalan menuju mulut gua
dan melompat. Kangmas Adipati, aku akan segera menyusulmu.
***
Akhirnya
Sayekti tersungkur. Ternyata dia dalang di balik semua kejadian ini. Dia
memanggil Bethara Klawu untuk membinasakanku. Dia ingin memiliki Anjarwati. Dia ingin
merebut Anjarwati dariku. Begitu liciknya Sayekti ini. Beruntunglah aku mampu
menumbangkan Sayekti dan Bethara, kini saatnya aku menjemput istriku tercinta.
Aku
meninggalkan jasad-jasad tak bernyawa itu di hutan. Nanti akan kupanggil abdi kadipaten untuk menguburkan mereka semua
dengan layak. Aku menaiki salah satu kuda dan memacu kuda itu masuk ke dalam
hutan, ke arah air terjun.
Begitu
terkejutnya aku begitu sampai di dalam gua air terjun tidak kutemui istriku,
kekasih hatiku. Gua begitu sepi, kemudian kemanakah perginya istriku? Aku
mencari tanda-tanda keberadaan istriku.
“Anjarwati?
Adinda? Adinda?”, aku berteriak. Aku mendengar suaraku sendiri bergaung, tak
ada sahutan.
Aku hampir
putus asa. Aku menjambak-jambak rambutku sendiri. Aku tersungkur dan menangis
sejadinya. Aku memukul-mukul tanah, berteriak kesetanan. Kemana perginya
kekasihku kalau tidak diantarkan kemari oleh pengawalku?
“Anjarwati!!!”,
aku berteriak lagi.
“Wahai
Adipati, istrimu sudah tiada. Dia melompat dari mulut gua ini sebelum aku
selesai mengatakan apa yang seharusnya kukatakan. Bahwa kau telah memenangkan
pertarungan melawan Bethara dan Sayekti.”
“Siapa kau?
Kau berbohong padaku! Kau berbohong padaku!”, aku berteriak putus asa.
“Aku
mengatakan yang sesungguhnya, coba lihatlah ke bawah air terjun.” Aku langsung
berlari menuruni anak tangga kecil yang licin di tepi gua. Membuktikan apakah
benar cintaku telah tiada? Jantungku berdebar tanpa henti, keringat dingin
membasahi pelipis dan tanganku.
Betapa
hancurnya pertahananku hari itu. Aku melihat tubuh Anjarwati di atas batu, tak
bergerak, tak ada tanda bahwa Ia bernafas. Hatiku luluh lantak. Aku menghambur
ke arah jasad istriku. Aku memeluknya, meletakkan kepalanya di dadaku dan
menangis sejadi-jadinya.
“Wahai air
terjun indah tanpa nama di kaki bukit Arjuno, aku akan menamaimu Coban Rondo. Engkaulah saksi bahwa aku
kehilangan belahan jiwaku, engkau saksi kelicikan Sayekti dan kesetiaan
istriku. Maka pasangan suami istri manapun yang kemari sebelum 7 bulan
perkawinannya akan mengalami nasib yang sama sepertiku.”
***
Aku
terbangun dari mimpi burukku. Di sampingku masih terbaring istriku, Anjarwati
dengan pulasnya. Apa gerangan yang membuatku bermimpi buruk semalam? Apakah
karena kami akan pergi ke Coban Rondo hari ini? Coban Rondo, air terjun
kebanggaan warga kotaku, Malang. Istriku sungguh ingin kami pergi ke sana.
“Sayang,
Anjarwati Sayang. Hari ini kita tidak jadi ke Coban ya?”, aku membangunkan
istriku perlahan. Dia bangkit.
“Kenapa,
Mas?”, tatapannya menyiratkan kekecewaan.
“Ah,
perasaanku tidak enak Anjar.” Anjarwati melengos.
“Mitosnya
kan hanya untuk mereka yang usia perkawinannya kurang dari selapan mas, kita kan sudah menikah selama empat tahun.” Anjarwati
mulai berargumen,”Pokoknya kita akan tetap ke sana.”
Mau tidak mau, suka tidak suka
aku harus menuruti keinginan istriku yang paling cantik dan kepala batu ini.
Semoga saja mimpi yang semalam kualami tidak menjadi pertanda hal buruk yang
akan terjadi hari ini. Aku senantiasa berdoa kepada Tuhan agar tetap melindungi
aku dan istriku.
Kami menghabiskan waktu seharian
di Coban, airnya memang benar-benar segar dan pemandangannya memang benar-benar
indah. Inilah yang kucintai dari kotaku, Malang. Meski Coban Rondo tidak tepat
berada di Malang, Batu lebih tepatnya tetapi Coban Rondo masihlah menjadi
lanskap pariwisata kotaku, Malang Raya kami menyebutnya.
Matahari sudah di ufuk Barat dan
kami bergegas pulang. Aku lega kami berdua tetap baik-baik saja sampai kami
mencapai daerah Malang Kota lagi.
“Tuh kan, Mas. Kubilang apa, kita
akan baik-baik saja. Mimpi hanyalah kembang tidur.”, istriku Anjarwati
tersenyum manis kepadaku. Aku memalingkan wajah dan tersenyum balik ke arahnya.
Tanpa kutahu, aku menginjak gas dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil yang
sedang berputar balik di Landungsari.
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting my blog, kindly leave your comment below :)
In a moment, I can't reply your comments due to error in my account when replying. But I make sure that I read every single comment you leave here :)