Resensi Buku : The Hunger Games
Rasanya telat banget menulis resensi buku yang ditulis Suzanne Collins ini setelah berbulan-bulan filmnya tayang di bioskop. Ya, ini memang bukan kebiasaan yang lumrah karena biasanya ane baca novel dulu baru nonton film, sedangkan yang ini kronologinya terbalik ane nonton film dulu baru baca bukunya. Oke, No big deal! Sudah atau belum baca bukunya ketika halaman per halaman selesai ane lahap ternyata Hunger Games lebih baik daripada Twilight Saga dan tidak jauh lebih baik dari Harry Potter #IMHO. Soh, mari cek resensi ane berikut.
Kali ini ane engga mau bersinopsis mengenai cerita buku karena sejujurnya visitor sekalian kebanyakan udah pernah baca bukunya maupun nonton filmnya jadi tahu kan jalan ceritanya kayak apa? Ane mau berbagi pikiran ane selama membaca buku ini dan membandingkannya dengan film. Meski ada Quote "Never judge a book by its movie nor judge a movie by its book".
Menurut ane, Suzanne Collins dengan pemilihan sudut pandang orang pertama merupakan keputusan yang kurang tepat karena penjabaran cerita, deskripsi panjang cuma dari sudut pandang Katniss. Ane kurang merasa sreg dengan novel fantasi yang bersudut pandang satu orang saja, Twilight juga contohnya. Jadinya kita tidak bisa merasakan bagaimana sih sisi lain dari cerita yang disuguhkan selain setting yang dialami pemeran utama. Selain itu penggunaan sudut pandang orang pertama milik Katniss ini membuat ane kurang memahami apa yang terjadi di Seam, Distrik 12 sepeninggal Katniss. But It's Okay lah karena nilai plusnya kita bisa menyelami penderitaan Katniss yang berat (lebih dari visualisasi film) ketika Ia berkompetisi di Hunger Games.
Harga yang terbayar dalam penggunaan sudut orang pertama ini adalah kejelasan pikiran Katniss mengenai kecurigaannya pada Peeta yang engga ane temuka dalam akting Jennifer Lawrence di film. Kalau di film ane berpikir Katniss (Jennifer Lawrence) seterusnya berakting dalam drama percintaan dengan Peeta, ternyata dalam novel Katniss merasakan getaran lain yang nyata terhadap Peeta. Dan tentu saja novel lebih dramatis daripada filmnya. Selain itu seperti biasa ada penghilangan adegan dan karakter yang ada dalam buku ketika buku ini difilmkan. Salah satunya Madge, anak walikota Seam yang menurut ane adalah tokoh penting karena Ia lah yang memberi Katniss pin Mockingjay dan Ia juga disinggung di buku ketiga.
Menurut ane, gaya bahasa yang digunakan Collins membuat ane merasa difast forward alias bisa dibilang cerewet. Kemudian ane kurang menikmati alur cerita seperti yang disuguhkan J.K Rowling. Dan dari segi plot, bagus dan licin dan cukup berat dibandingkan dengan Harry Potter jadi tak salah kalau buku kedua dan ketiganya menjadi Editor's Choice. Sayangnya, Suzanne Collins harus belajar bereksplorasi menggunakan sudut pandang orang ketiga untuk menciptakan buku yang lebih fenomenal daripada Harry Potter.
Great! :r:
ReplyDelete